UPDATE

Hasto Kristiyanto, Makna Kunjungan Mgr. Suharyo serta Politisasi Kasus dan Kriminalisasi Khusus

Foto: tajukharian.com_Pengamat Sosial Politik
Teo Hanpalam

Konstelasi politik nasional hari ini penuh dengan dinamika, belakangan ini isu politik terkait tudingan ijazah palsu Presiden Jokowi belum mereda. Terbaru Presiden Megawati juga memberikan komentar yang normatif terkait hal ini. Dalam pernyataannya beberapa waktu lalu, Mega meminta Jokowi untuk menunjukan ijazahnya kepada rakyat agar polemik ini tidak berkepanjangan, suara Mega ini juga menjadi atensi berbagai pihak yang juga mendesak Jokowi menunjukan ijazahnya kepada publik.

Namun Jokowi, seperti kita ketahui enggan melakukan itu, menurutnya Ia hanya akan menunjukan ijazahnya  untuk kepentigan penegakan hukum kalau diminta pengadilan. Perbedaan sudut pandang antara Jokowi dan sebagian masyarakat membawa polemik ini berlarut-larut hingga hari ini.

Kembali kepada Hasto, penahanan Hasto terkait kasus penyuapan kepada Anggota KPU RI Wahyu Setiawan untuk meloloskan Harun Masiku menjadi Anggota DPR RI menggantikan Riezky Aprilia pada Dapil 1 Sumatera Selatan pada pemilihan legislatif di tahun 2019.

Dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Hasto pada saat itu menyampaikan bahwa Harun Masiku harus dibantu untuk menjadi anggota DPR karena sudah menjadi keputusan partai. Riezky pun enggan menyetujui permintaan untuk mengundurkan diri.

Riezky Aprilia sendiri merupakan pemilik suara kedua dapil Sumsel 1, karena Nazarudin Kiemas pemilik suara pertama meninggal dunia.

Kursi warisan Nazarudin Kiemas ini yang menjadi pangkal masalah terjadi perebutan antara Harun Masiku dan Riezky Aprilia yang berbuntut pada kasus dugaan suap Komisioner KPU Wahyu Setiawan. PDIP merekomendasikan Harun sebagai PAW, sementara KPU menetapkan Riezky Aprilia sebagai anggota DPR karena dianggap berhak sebagai pemilik suara terbanyak kedua setelah Nazarudin Kiemas sebagaimana laporan dari Tempo. Adapun dalam perkara ini Hasto didakwa melakukan perintangan penyidikan (obstruction of justice) dan suap agar Harun Masiku bisa menjadi anggota DPR PAW 2019-2024.

Hasto Kristiyanto didakwa memberikan uang sejumlah 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 Wahyu Setiawan pada rentang waktu 2019-2020. Tulis Antara

Dari sini kita bisa melihat duduk persoalannya bahwa,  upaya Hasto tersebut berawal dari masalah internal dengan Kader PDIP sendiri. Bagi saya, ini sudah menjadi rahasia umum di di dalam internal partai politik di Indonesia. Seperti kita ketahui, politik di Indonesia identik dengan politik transaksional. Saya tidak mengamini cara tersebut, tetapi mari kita lihat secera objektif duduk persoalan perkara Hasto ini. Dinamika internal PDIP dan tudingan keterlibatan Hasto Kristiyanto, tentu kalau kita pahami Korupsi dalam konteks "extraordinary crime", kita dapat mengklasifikasi perbuatan Hasto tidak menyebabkan kerugian bagi negara. Bagi saya ini hanyala politik transaksional yang menjadi salah satu penyakit demokrasi di Indonesia sekarang ini.

Simbol Kunjungan Mgr. Ignatius Suharyo.

Senin 14 April 2025, Mgr. Ignatius Suharyo mengunjungi Hasto Kristiyanto di Rutan KPK. Kunjungan tersebut menurutnya merupakan sesuatu yang biasa dilakukan saat momentum perayaan Paskah bagi umat  Katolik, salah satu bentuknya yaitu mengunjungi orang yang dipenjara. Pertanyaannya, apakah kunjungan ini hanya kunjungan biasa dan rutinitas saja atau apa pesan simbolis dari kunjungan Mgr. Ignatius ke Hasto Kristiyanto dan tujuannya untuk apa dan kemana? Bagi saya ada pesan yang tersirat dalam kunjungan tersebut dan tentu ini bukan kunjungan biasa.

Kasus yang menjerat Hasto dinilai berbagai pihak adalah upaya kriminalisasi dan politisasi kasus. Inilah kemungkinan kenapa Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo menjenguk Hasto di tahanan dan kemudian santer menjadi pemberitaan yang mengundang perhatian publik. Mgr. Kardinal Ignatius Suharyo seperti kita ketahui merupakan Pria kelahiran Jogjakarta, seorang intelektual dan orang Jawa tentunya. Ia intelektual terdidik dan tentu ia tahu konsekuensi dari kunjungannya ke Hasto di penjara. Walaupun momentum tersebut memang pada hari Paskah, dimana bagi umat Kristiani, paskah memiliki simbol suatu pengorbanan Yesus Kristus untuk menyelamatkan manusia apalagi Hasto ini adalah seorang Katolik dan juga sama-sama orang Jogja.

Kunjungan terhadap Hasto ini yang kemudian diliput media tentu ini menjadi pertanyaan, sebab ada orang Katolik lainnya yang dipenjara karena dugaan korupsi yang merugikan negara dan rakyat seperti Jhony G. Plate, Juliari Batubara dan beberapa yang lain tidak pernah dipublikasikan.

Saya meyakini Mgr. Suharyo juga pernah berkunjung ke umat Katolik lainnya yang sedang dipenjara tetapi tidak disampaikan kepada publik. Mgr. Suharyo tentu sadar akan hal ini dan kunjungannya ke Hasto tentu memiliki pesan dan bahasa simbol tertentu.

Sebagaimana ada dugaan bahwa upaya pengusutan kasus Hasto hanyalah permainan kekuasaan untuk membungkam Hasto dan mereduksi PDI Perjuangan. Sebagaimana kita ketahui bahwa Hasto memang vokal dalam mengkritik Presiden Jokowi karena dianggap mengkhianati PDIP saat Ia mencalonkan anaknya Gibran Rakabuming Raka menjadi Calon Wakil Presiden dari Prabowo Subianto. Manuver Jokowi tersebut tentu bertentangan dengan keputusan Partai yang mengusung kader PDIP Ganjar Pranowo pada Pilpres 2024 lalu.

Kembali ke Mgr. Suharyo, mungkin kita posisikan beliau sebagai orang Jawa dulu. Dalam politik Jawa, kita sering saksikan bahwa setiap gerakan dan pesan tertentu biasanya disampaikan melalui bahasa simbol. Bagi saya, Mgr. Ignatius dalam kapasitas ini, dominan memposisikan dirinya sebagai orang Jawa, bukan sebagai Uskup Agung Jakarta.

Lantas apa pesan lain yang mau disampaikan secara simbolis ini? Bagi saya ini memberikan pesan kepada penguasa dan rakyat bahwa kasus yang menjerat Hasto harus dibaca secara kritis. Mgr. Suharyo tentu juga tidak mengamini tindakan korupsi dalam bentuk apapun.

Bagi saya, kunjungan Mgr. Suharyo ini memiliki pesan penting dan mendalam. Sebagaimana anggapan publik, banyak yang menduga bahwa kasus yang dihadapi Hasto Kristiyanto lebih dominan unsur politis daripada semangat penegakan hukum. Ia kerap kali dianggap sebagai gangguan bagi Presiden Jokowi, dan santer kabar seperti diakui Dedi Sitorus kader PDIP, Jokowi pernah melobi Sekjen Hasto agar dirinya dan Gibran tidak dipecat PDIP.

Politisasi Kasus dan Kriminalisasi Khusus

Kasus Hasto mencuat di masa akhir kepemimpinan Jokowi terutama saat setahun terakhir Jokowi masih berkuasa, kasus yang pada awalnya terfokus kepada Harun Masiku yang menjadi pintu masuk politisasi kasus menjadi posisi tawar Jokowi untuk menekan PDIP agar Sekjen Hasto tidak bersuara lantang terkait narasi "pengkhianat" partai maupun "pengkhianat" konstitusi.

Jokowi berharap Hasto dan PDIP bisa disandera dalam kasus ini. Namun pada kenyataan Hasto dan PDIP semakin kencang bersuara, dan narasi pengkhianat ini kemudian melekat pada Jokowi setidaknya sampai hari ini. Bagi Jokowi, ia tidak ingin namanya tercoreng, agar tidak tercoreng langkah yang dilakukan adalah melanjutkan proses Hasto dengan kasus dugaan suapnya. Sejauh ini, menurut surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Hasto didakwa terbukti memberi suap kepada mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan. Namun praktek semacam ini bagi berbagai kalangan merupakan hal umum yang dilakukan oleh politisi Indonesia hari ini, yaitu politik transaksional.

Saya tentu tidak mengamini, namun dalam kasus ini, tidak ada kerugian yang dialami oleh negara. Ini hal berbeda dengan kasus PT Timah, dalam kasus ini sejumlah terdakwa dinilai telah merugikan negara hingga 300 triliun, Korupsi minyak mentah Pertamina 193,7 triliun, BLBI 138,4 triliun, kasus korupsi penyalahgunaan izin lokasi dan izin usaha perkebunan di Kawasan Indragiri Hulu di awal 2000-an merugikan negara sekitar 78 triliun, Kasus kondensat ilegal terjadi saat Dirut PT TPPI Honggo Wendratno mengajukan program PSO (public service obligation) melalui surat ke BP Migas, kerugian negara mencapai 37,8 triliun, Asabri 22,78 triliun, dan banyak korupsi lain yang bertriliunan merugikan negara, belum lagi kasus yang lain, semua ini belum tuntas diselesaikan, dan hanya menjerat pemain-pemain kecil, sementara pemain besar berpesta pora. Inilah anomali kenapa berbagai kalangan kemudian menduga bahwa kasus 600 juta Hasto yang tidak merugikan negara ini diusut tuntas.

Di berbagai kesempatan, Hasto tentu merasa bahwa ada ketidakadilan dan unsur kriminalisasi terhadap dirinya. Bagi Hasto, Ia diburu bukan untuk tujuan pemberantasan korupsi, tetapi untuk membungkam dirinya dan PDIP.

Apa yang dianggap Hasto dan melihat rangkaian peristiwa serta proses politik yang terjadi Indonesia terutama menjelang Pilpres 2024 merupakan suatu fakta yang tidak dapat dinafikan. Modus operandi semacam ini bukan hanya terjadi di Indonesia, di berbagai negara di dunia juga terjadi. Di Amerika, misalnya terjadi kepada TRUMP, Ia didakwa melakukan 34 perbuatan melawan hukum, tentu publik Amerika membaca dengan cerdas dari manuver Joe Biden. Ia ingin mengkerdilkan Trump karena ia merupakan lawan politik Partai Demokrat di Pilpres AS 2024 lalu. Kriminalisasi yang dilakukan Biden terhadap Trump tidak berhasil, namun justru jagoan Biden, Kamala Harris yang kalah telak oleh Donald Trump. Kenapa saya contohkan Biden dan Trump, hal ini bukan soal kasusnya, tetapi ini soal niat atau motif di balik tameng "penegakan hukum" ini. Di Indonesia kasus yang dialami Hasto juga terjadi pada Thom Lembong, hanya perbedaannya Tom Lembong Didakwa Rugikan Negara Rp 578 Milyar dalam Kasus Impor Gula.

Bagi Thom Lembong pengusutan kasus ini ada ketidakadilan karena hanya menjerat dirinya, padahal menteri sebelum dan sesudah dia tidak diproses hukum sama sekali walaupun mereka menjalankan kebijakan yang sama yang yaitu Impor Gula.

Pertanyaannya, kenapa hanya Thom Lembong yang diburu? Ini dapat dibaca publik sebagai upaya kriminalisasi, apalagi Thom ini Timses Anies di pilpres 2024 lalu.

Dari contoh kasus diatas, publik Indonesia melihat bahwa klaim Hasto itu benar bahwa kasus yang menjeratnya merupakan operasi politik untuk membungkam lawan. Ini tentu sangat buruk bagi keberlanjutan demokrasi kita.

Saya mengamati fenomena politisasi kasus dan upaya kriminalisasi ini adalah ujian yang besar. Ini merupakan alarm berbahaya bagi demokrasi kita ini yang sedang mengalami ujian bertubi-tubi. Kita sendiri tidak memiliki kemauan mengerjakan ujian ini dan berharap hasilnya bisa lulus. Ini tentu sebuah halusinasi yang hakiki, kita akan bisa terus maju apabila dalam proses demokrasi dan instrumen demokrasi seperti penegak hukum tidak mau "dibegal" oleh penguasa. Pada kenyataannya hari ini demokrasi "dibajak" dan kadang kala hukum menjadi alat kekuasaan untuk menyingkirkan mereka yang berbeda pilihan. Ini harus menjadi refleksi bersama, apakah kita akan mau teruskan warisan balas jasa dan balas dendam politik ini? Ayo Revolusi diri.


Teodorikus Hanpalam

Catatan Pingiran

Jakarta, 3 Juni 2025

Dilema Guru Dalam Tugasnya Sebagai Pendidik di Tengah Kepungan Disrupsi Mental Orang Tua

 

Foto : Dokpri

Tajukharian.com - Dunia pendidikan di Indonesia kini menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Guru, yang selama ini dipandang sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, kini dihadapkan pada dilema yang pelik. Di satu sisi, mereka mengemban tanggung jawab moral dan profesional untuk mendidik dan mendisiplinkan siswa. Di sisi lain, mereka dihantui ketakutan akan disrupsi mental orang tua yang berujung pada ancaman hukum. Fenomena di mana guru diseret ke ranah hukum setelah mendisiplinkan atau mendidik siswa telah menjadi berita yang meresahkan dan menunjukkan adanya pergeseran signifikan dalam cara pandang masyarakat terhadap peran guru.

Pergeseran Paradigma dan Disrupsi Mental

Dahulu, orang tua dan guru memiliki pemahaman yang sama: guru adalah sosok yang patut dihormati dan dipercaya. Jika seorang anak mendapat hukuman atau teguran dari guru, orang tua cenderung mendukung guru dan melihatnya sebagai bagian dari proses pembentukan karakter. Namun, kini, paradigma itu mulai terkikis. Ada sebagian kecil orang tua yang memiliki kecenderungan reaktif dan sensitif berlebihan terhadap perlakuan guru kepada anaknya. Mereka seringkali menginterpretasikan tindakan guru sebagai bentuk kekerasan atau perundungan, meskipun tindakan tersebut sebenarnya merupakan bagian dari metode mendidik yang wajar, seperti menegur, meminta siswa merapikan kelas, atau memberikan sanksi atas pelanggaran tata tertib.

Disrupsi mental orang tua ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama, minimnya pemahaman tentang pedagogi dan psikologi anak. Orang tua seringkali hanya melihat kasus dari sudut pandang anak mereka, tanpa berusaha memahami konteks yang lebih luas dari sebuah kejadian di sekolah. Kedua, pengaruh media sosial yang masif. Kasus-kasus yang viral di media sosial seringkali dipangkas dari konteks aslinya dan hanya menonjolkan satu sisi cerita, memicu kemarahan publik dan orang tua secara instan. Ketiga, tekanan sosial dan ego orang tua. Beberapa orang tua merasa gengsi atau takut jika anaknya dianggap "nakal" atau mendapat hukuman. Mereka lebih memilih untuk menyalahkan guru daripada mengakui bahwa anak mereka membutuhkan bimbingan atau disiplin tambahan.

Ketakutan yang Membelenggu Guru

Dampak dari fenomena ini sangat nyata. Banyak guru yang kini merasa tertekan dan ketakutan dalam menjalankan tugasnya. Mereka menjadi ragu-ragu untuk memberikan teguran atau hukuman yang diperlukan, bahkan untuk pelanggaran yang jelas-jelas merugikan siswa lain atau lingkungan sekolah.

Berikut ini setidaknya beberapa keadaan yang membelenggu Guru: 

Pertama; Rendahnya Inisiatif Mendisiplinkan Murid. 

Guru takut dianggap "kasar" atau "kejam". Akibatnya, mereka cenderung membiarkan pelanggaran-pelanggaran kecil terjadi, yang pada akhirnya dapat memicu masalah yang lebih besar.

Kedua; Stres dan penurunan motivasi.

Kekhawatiran akan dilaporkan ke polisi atau diseret ke pengadilan menciptakan tekanan mental yang luar biasa bagi para guru. Mereka tidak lagi dapat fokus sepenuhnya pada proses belajar-mengajar, melainkan harus terus-menerus memikirkan potensi risiko hukum. Hal ini dapat memicu burnout dan menurunkan kualitas pengajaran.

Ketiga; Hilangnya Wibawa Guru.

Ketika guru tidak lagi berani mendisiplinkan, wibawa mereka di mata siswa akan menurun. Siswa akan merasa bahwa mereka dapat melanggar aturan tanpa konsekuensi, yang pada gilirannya dapat menciptakan lingkungan sekolah yang kurang kondusif untuk belajar.

Solusi yang ditawarkan

Untuk mengatasi dilema ini, perlu dilakukan upaya kolaboratif dari semua pihak: pemerintah, sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat.

Pertama, Edukasi kepada Orang Tua.

Sekolah atau pemerintah perlu secara rutin menyelenggarakan seminar atau lokakarya untuk mengedukasi orang tua tentang pentingnya kolaborasi antara sekolah dan rumah. Edukasi ini harus mencakup pemahaman tentang psikologi anak, metode mendidik yang efektif, dan pentingnya mendukung wibawa guru.

Kedua, Membangun Komunikasi yang Kuat.

Sekolah harus menciptakan mekanisme komunikasi yang efektif dan terbuka antara guru dan orang tua. Jika ada masalah, sebaiknya diselesaikan melalui mediasi di tingkat sekolah terlebih dahulu, bukan langsung ke ranah hukum.

Ketiga, Perlindungan Hukum untuk Guru.

Pemerintah, melalui lembaga yang berkewenangan, harus memastikan adanya payung hukum yang jelas yang melindungi guru dalam menjalankan tugas profesionalnya. Batasan antara mendidik dan kekerasan harus didefinisikan dengan tegas dan dipahami oleh semua pihak.

Keempat, Memperkuat Peran Komite Sekolah.

Komite sekolah harus diaktifkan kembali sebagai jembatan yang efektif antara kepentingan sekolah dan orang tua. Mereka dapat menjadi mediator pertama dalam menyelesaikan konflik.

Dilema yang dihadapi guru saat ini adalah cerminan dari tantangan sosial yang lebih luas. Mendidik tidak hanya soal mentransfer ilmu, tetapi juga membentuk karakter dan moral. Jika para guru terus dibayangi ketakutan akan ancaman hukum, proses pendidikan di Indonesia akan terhambat. Sudah saatnya kita semua menyadari bahwa masa depan bangsa ada di tangan para guru, dan mereka tidak boleh dibiarkan berjuang sendirian di tengah kepungan disrupsi mental orang tua.


Ditulis oleh Marianus Haryanto, S.Pd.,Gr.

Penulis adalah Guru ASN PPPK pada SMKN 1 Welak.

Megawati, Politisi Magis yang Luput dari Sandera Orde Baru

Foto; tajukharian.com-Teo-Hanpalam-@/dok-pribadi

Sosok Megawati Soekarno Putri, Presiden ke-5 Republik Indonesia tidak pernah lekang dari ingatan publik. Putri seorang Proklamator Bung Karno ini hidup dan melanglangbuana di berbagai zaman pasca Indonesia Merdeka. Perempuan berdarah biru yang lahir pasca kemerdekaan itu telah melewati berbagai masa jaya dan kelam orde lama, orde baru dan pasca reformasi.

Mega awalnya oleh Bung Karno tidak dihitung sebagai penerus kepemimpinan Bung Karno. Namun keraguan Soekarno terbukti keliru, "time will tell", Megawati justru menjadi primadona ketika Ia memutuskan berkiprah di politik. Awal munculnya Megawati dalam panggung politik ketika pada masa orde baru tahun 1987 tak lepas dari peran Sabam Sirait ayahanda dari Maruarar Sirait yang menjadi Menterinya Prabowo saat ini. Kala itu, menurut berbagai informasi, pada pertengahan 1980an Sabam merayu Megawati dan Suaminya Taufik Kemas untuk bergabung dengan PDI, rayuan Sabam kemudian membuat Megawati mengubah keputusannya dan bersedia bergabung dengan Partai Banteng itu.

Bakat Mega mulai terlihat ketika ia mampu mendongkrak suara PDI dengan mendapat 40 kursi di DPR RI, meningkat dari pemilu sebelumnya tahun 1982 PDI hanya meraih 24 kursi. Megawati yang kala itu juga ikut mencalonkan diri menjadi anggota DPR RI akhirnya terpilih melanggeng ke Senayan. Pencapaian itu tidak lepas dari determinasi Mega yang mulai terlihat daya Magisnya Bung Karno. 

Setelah suksesi pemilu 1987 selesai, Megawati tercatat didapuk menjadi Ketua DPC Jakarta Pusat. Inilah awal karier gemilang Mega dalam struktur PDI.

Tentu pada saat itu rezim orde baru sangat tidak senang dengan munculnya Mega, karena waktu itu, oleh rezim orde baru, Trah Bung Karno dianggap musuh dan mengancam kekuasaan. Penyebabnya tentu perseteruan antara Pak Harto dan Bung Karno, ayahanda Megawati.

Megawati kerap kali dalam tampilannya ke publik menceritakan masa lalu keluarganya saat diasingkan rezim orde baru karena dianggap sebagai ancaman saat itu.

Saat Mega mulai bersinar dan membawa PDI memperoleh banyak kursi di Senayan, bukan hanya dianggap ancaman oleh rezim orde baru namun juga oleh Ketua PDI waktu itu Soerjadi. Soerjadi ini dikenal sosok yang berkompromi dengan rezim orde baru berbeda dengan Mega Trah Bung Karno jelas-jelas menentang rezim yang dianggap totaliter.

Kekhawatiran Soerjadi ternyata benar, ia merasa tersaingi dengan bersinarnya Megawati. Pada saat kongres PDI Medan tahun 1993 yang mengukuhkan posisi Ketua Umum PDI Soerjadi mendapat perlawanan dari Kubu Mega yang dianggap Kongres itu diinfiltrasi oleh kekuasaan orde baru.

Kubu Mega pun menolak hasil kongres itu dan selang beberapa waktu PDI yang berseberangan dengan Soerjadi melaksanakan Kongres Luar biasa bertempat di Surabaya.

Megawati Menuju Tampuk Kekuasaan PDI

Kongres Luar Biasa di Surabaya pada Desember 1993 secara mengejutkan berhasil menjadikan Mega sebagai Ketua Umum dengan meraih dukungan 27 DPD PDI dan PDI terbelah menjadi dua kubu yaitu Kubu Mega dan Kubu Soerjadi. Disinilah kisah heroik dan kepahlawanan Mega dimulai, Surabaya yang dikenal sebagai Kota Pahlawan menjadi awal daya Magis Mega mengendalikan langkah PDIP saat ini.

Soerjadi yang dekat dengan rezim orde baru saat itu tidak menerima begitu saja hasil KLB Surabaya. Upaya melengserkan Mega pun dimulai oleh Soerjadi dan pendukung-pendukungnya yang dibantu oleh rezim orde baru yang tidak suka dengan Mega kala itu yang dikenal dengan Peristiwa Kudatuli (Kerusuhan 27 Juli) 1996 yang merupakan suatu peristiwa kelam bagi PDI dan upaya lengserkan Mega dari Ketua Umum gagal.

Jatuhnya rezim Soeharto dan akibat inflasi serta berbagai masalah yang tidak bisa diatasi membuat berbagai kalangan termasuk mahasiswa turun ke jalan mendesak reformasi total dan meminta Soeharto melepaskan jabatannya sebagai Presiden yang berlangsung 32 tahun.

Momentum ini tentu secara politis menguntungkan Mega karena Ia kala itu dianggap "Mega Bintang" yang menentang rezim otoriter orde baru.

Megawati dengan insting politiknya kemudian mendirikan PDI Perjuangan dan bertarung di pemilu 1999. Langkah tersebut ternyata berhasil, PDIP besutan Megawati memperoleh 33,74 suara dan menjadi pemenang pemilu. Sementara PDI kubu Soerjadi tenggelam dengan hanya memperoleh 0,33 persen suara.

Megawati Presiden dan Pemilu Langsung 2004

Kiprah politik yang apik Megawati tidak hanya sampai pada partainya yang menang pemilu, pada tanggal 23 Juli 2001 Ia dilantik menjadi Presiden ke-5 RI pasca Gusdur dilengserkan melalui sidang istimewa MPR yang dipimpin Amien Rais.

Pada masa kekuasaannya, Ia dikenal sebagai Presiden Penegak Konstitusi dan masa kepimpinan dialah Indonesia masuk era baru demokrasi elektoral dengan pemilu langsung yang memungkinkan rakyat memilih langsung DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi, DPR RI, DPD RI dan juga pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Pada masa ini pula, kabarnya Prabowo yang diasingkan ke Yordania karena tuduhan pelanggaran HAM tahun 1998 dibantu Mega untuk membawanya pulang ke Indonesia melalui Dubes Indonesia di Singapura waktu itu dijabat Luhut Binsar Pandjaitan.

Pada pemilu Presiden berikutnya tepatnya tahun 2004 Megawati memutuskan ikut mencalonkan diri namun kemenangan berpihak pada bawahan Mega sendiri yaitu Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dari kabinetnya. SBY yang berpasangan dengan Jusuf Kalla itu menang di putaran kedua dan sah terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004. Kekalahan itu membuat Megawati beroposisi selama periode pertama pemerintahan SBY.

Selang 5 tahun kemudian Megawati kemudian mencalonkan diri lagi dengan menggandeng Prabowo sebagai wakilnya. Saat itu hubungan Mega Prabowo tampak hangat dan begitu dekat, kerap kali dalam panggung Politik Mega dan Prabowo terlihat cair dan berhubungan baik. SBY yang kala itu menjadi petahana berhasil menang kembali, namun wakil Presidennya kala itu Ia menggandeng Boediono mantan Gubernur Bank Indonesia itu. Wakil Presiden petahana Jusuf Kalla mencalonkan diri sebagai Calon Presiden dengan Wiranto sebagai calon wakil Presiden. PDIP dan Megawati harus kembali menjadi oposisi pemerintah selama 10 tahun.

Jasa Mega terhadap Jokowi

Pada tahun 2014, saat kontestasi Pilpres kembali digelar, Megawati rupanya tidak lagi ingin mencalonkan diri kembali. Pada saat yang sama, Jokowi yang merupakan Gubernur DKI Jakarta mulai bersinar dan mendapat atensi khusus dari Megawati. Jokowi saat itu merupakan Gubernur yang diusung oleh PDIP dan Gerindra. Ia berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Kabarnya duet Jokowi dengan Ahok ini adalah duet yang dipasang dengan kompromi Prabowo dan Megawati, kala itu Jokowi kader PDIP dan Ahok kader Gerindra sehingga terpilih menjadi Gubernur DKI periode 2012-2017.

Hanya dua tahun pasca menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi mendapat keberuntungan, dengan sikap legowonya Mega saat itu, PDIP memutuskan untuk mencalonkan kader "lain" dari PDIP yaitu Jokowi.

Langkah politik Megawati tersebut terbukti jitu, kader "lain" PDIP itu kemudian menjadi Presiden hingga dua periode 2014-2024 sampai akhirnya dipecat dari PDIP.

Kisah jatuh bangunnya Mega dan PDI-nya dulu dan PDI Perjuang sekarang kembali diuji sejarah setelah pada pilpres 2024 jagoan PDIP kalah secara mengejutkan. Selanjutnya, mari kita tatap 2029, akankah daya Magisnya Mega kembali menjadi Mega Bintang? Menarik untuk ditunggu. Saya teringat suatu semboyan PDIP saat HUT-nya ke 51 dan Rakernas ke 5 pada Mei 2024 lalu, Satyameva Jayate (Kebenaran Pasti Menang).

Teodorikus Hanpalam

Catatan Pinggiran

Tinggal di Jakarta

Melawan Ketidakadilan dengan Libertarianisme

Foto; ilustrasi-@/google

Baru saja terjadi pembakaran kantor Polsek di Kayangan, Lombok Utara. Sebabnya adalah seorang pemuda bernama RW gantung diri karena depresi diperas oleh oknum polisi hingga sejumlah 90 juta rupiah karena dituduh mengambil HP di minimarket. Ada lagi kasus seorang korban penganiayaan bernama Ragil Alfarizi yang dianiaya sampai mati oleh 2 oknum polisi.

Ketidakadilan ini muncul karena budaya masyarakat Indonesia yang terlalu lapang dada jika dianiaya dan percaya bahwa Tuhan akan membalas yang jahat. Tapi sampai kapan? Sampai kapan kita diinjak-injak oleh oknum-oknum yang jumlahnya sangat banyak. Jika pemerasan sudah dinormalisasi, jika mentalitas mengayomi dan melindungi yang lemah sudah tidak ada, apa yang harus kita lakukan? Melawan? Berdiam diri? “Libertarianisme” namanya. Mungkin kata itu asing di telinga kalian. Bahkan software Microsoft Word pun melabeli kata tersebut dengan garis bawah merah yang artinya tidak ada di KBBI. Mungkin kalian tidak asing dengan “saudara” dari 

Libertarianisme yaitu Liberalisme. Tapi apa bedanya? 

Libertarianisme menekankan kebebasan individu yang hampir absolut dan pembatasan kekuasaan negara secara radikal. Penganut ideologi ini percaya bahwa negara seharusnya memiliki peran minimal dalam kehidupan masyarakat hanya untuk melindungi kebebasan, keamanan, dan hak kepemilikan individu. Regulasi pemerintah dipandang sebagai gangguan terhadap kebebasan, dan hampir semua layanan sebaiknya diprivatisasi.

Libertarianisme  memiliki akar konservatif yang berdasarkan pada pemikiran para Founding Fathers Amerika Serikat yang menggabungkan komitmen terhadap kebebasan individual dengan fondasi moral tradisional. Thomas Jefferson, James Madison, dan George Washington memperjuangkan pembatasan kekuasaan pemerintah bukan sebagai tujuan akhir, tetapi sebagai sarana untuk melindungi kehidupan bermoral yang didasarkan pada nilai-nilai Judeo-Kristen dan kebajikan klasik.

Para Founding Fathers memahami bahwa kebebasan tanpa moralitas akan berujung pada kehancuran masyarakat. Mereka menekankan pentingnya nilai-nilai keluarga, tanggung jawab pribadi, dan komunitas yang kuat berdasarkan kesukarelaan.

John Adams dengan tegas menyatakan bahwa konstitusi Amerika "dibuat hanya untuk rakyat yang bermoral dan beragama" dan "sama sekali tidak cocok untuk pemerintahan lainnya. (yang kala itu kebanyakan kerajaan, imperialisme, ataupun Elective Oligarchy seperti: Republik Venesia, Republik Belanda, Persemakmuran Polandia-Lithuania, dll.)"

Kebebasan ekonomi dan pembatasan pemerintah dipandang sebagai cara untuk memberdayakan individu dan komunitas dalam mengejar kehidupan yang baik dan berbudi luhur. Berbeda dengan Libertarianisme konservatif, liberalisme progresif modern telah memutuskan hubungan dengan akar-akar moralnya. Dimulai dengan gerakan Progresif awal abad ke-20 dan berlanjut hingga "Great Society" pada tahun 1960-an, liberalisme progresif membayangkan negara sebagai instrumen utama untuk "kemajuan" sosial dan moral. Pandangan ini melihat tradisi, agama, dan norma-norma sosial sebagai hambatan yang harus dilampaui, bukan sebagai sumber kebijaksanaan yang harus dihormati.

Liberalisme progresif memprioritaskan kebebasan ekspresif namun sering kali mengorbankan kebebasan ekonomi. Kaum liberal progresif mengadvokasi ekspansi pemerintah yang masif ke dalam ekonomi dan kehidupan sosial, menciptakan ketergantungan masyarakat pada negara, bukan pada keluarga dan komunitas. Akibatnya, fondasi moral masyarakat terkikis sementara kekuasaan negara terus membengkak, mengancam kebebasan yang seharusnya dilindungi.

Inilah kenapa saya memilih Libertarianisme Konservatif untuk diimplementasikan di hati masyarakat Indonesia, karena sesuai dengan nilai-nilai tradisional yang tetap dipertahankan. Lalu apa hubungannya dengan oknum polisi? Dengan menghargai diri kita sendiri sebagai individu, pastilah kita tidak akan pasrah saat tertindas malah saling mendukung dalam komunitas bila sama-sama tertindas, seperti masyarakat Amerika serikat saat penjajahan Inggris.

Libertarianisme konservatif memang menawarkan kerangka yang menarik untuk konteks Indonesia. Dalam perspektif ini, penyalahgunaan wewenang oleh oknum polisi merupakan contoh klasik dari bahaya kekuasaan negara yang berlebihan tanpa akuntabilitas yang memadai. Filosofi ini mengingatkan kita bahwa kewenangan aparat harus dibatasi dan diawasi ketat untuk mencegah pelanggaran terhadap hak-hak individu. Contoh konkret di masyarakat modern adalah tragedi Waco, Texas, di mana pada tahun 1993, agen-agen federal AS mengepung kompleks Branch Davidian selama 51 hari dan berakhir dengan kebakaran yang menewaskan 76 orang, termasuk 25 anak-anak.

Bagi banyak libertarian, ini menjadi simbol penyalahgunaan kekuasaan negara yang ekstrem terhadap komunitas yang memilih hidup dengan keyakinan berbeda sekaligus perlawanan oleh masyarakat libertarian yang direpresentasikan Dravidian Branch. Kasus Marvin Heemeyer atau yang dikenal sebagai "Killdozer" juga menjadi ikon perlawanan libertarian. Pada 2004, setelah perselisihan panjang dengan pemerintah kota Granby, Colorado terkait zonasi yang merugikan bisnisnya, Heemeyer memodifikasi buldozer dengan pelat baja dan menghancurkan 13 bangunan kota, termasuk balai kota.

Meski kontroversial, banyak yang memandangnya sebagai protes terhadap ketidakadilan birokrasi yang mengabaikan hak properti individu. Selain itu, "Roof Koreans" merujuk pada para imigran Korea yang melindungi bisnis mereka selama kerusuhan Los Angeles 1992. Ketika polisi menarik diri dari kawasan tersebut, pemilik toko Korea-Amerika ini naik ke atap bangunan mereka dengan senjata untuk melindungi properti mereka dari penjarahan. Ini menunjukkan bagaimana komunitas dapat mengorganisir perlindungan diri saat pemerintah gagal memberikan keamanan dasar.

Perlawanan buruh terhadap Pinkerton pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menunjukkan konflik antara hak pekerja dan kekuatan korporasi yang didukung negara. Detektif Pinkerton sering disewa oleh perusahaan untuk memecah serikat pekerja, yang terkadang mengakibatkan kekerasan seperti dalam Homestead Strike 1892. Perjuangan ini menjadi contoh bagaimana komunitas pekerja dapat bersatu melawan koalisi kepentingan bisnis dan kekuasaan negara yang menindas. Semua contoh ini, meskipun berasal dari konteks yang berbeda, menunjukkan tema umum dalam pemikiran libertarian konservatif: pentingnya individu dan komunitas yang siap mempertahankan hak-hak mereka ketika dihadapkan dengan penyalahgunaan kekuasaan, sambil tetap berpegang pada nilai-nilai tradisional dan tanggung jawab sosial. 

Jika kita sebagai manusia modern masih percaya dengan "aku cuma orang kecil tidak bisa apa-apa" ubahlah mindset itu dengan membangun komunitas yang kuat dengan nilai-nilai sosial tinggi tanpa merusak kebebasan individu. Kita sudah lelah diinjak-injak! 

Mari kita berteriak "Merdeka!" dengan menghayati bahwa kamu juga merdeka sebagai individu! "When tyranny becomes law, rebellion becomes duty." (Ketika tirani menjadi hukum, pemberontakan menjadi kewajiban.) - Thomas Jefferson

Gabriel Defa Samudra Asa 

Dari Ornamen Keagamaan Hingga Zig Zag Presiden Jokowi Mengantar Gibran Menuju Kursi RI 2

Foto; tajukharian.com-Teo-Hanpalam-@/dok-pribadi

Pertama mungkin kita bertanya-tanya siapakah Gibran ini? Apakah politisi dari antah berantah. Mari kita telusuri jejak politik Gibran dari sudut pandang kolusi dan nepotisme.

Gibran adalah orang sakti tanpa aji aji di panggung politik nasional. Karier politiknya dimulai ketika Bapaknya, Presiden Jokowi masuk periode kedua kepemimpinan Nasional.

Gibran awalnya hanya dikenal anak yang polos dan culun serta irit bicara. Hal itu tampak ketika Pak Jokowi memperkenalkan keluarganya di depan wartawan usai terpilih pertama kali menjadi Presiden ke 7 RI tahun 2014. Pada momen pelantikannya sang Presiden memperkenalkan keluarganya di hadapan media dan pada Giliran Mas Gibran, ia tampak lebih banyak mengumbar senyum "tanggung" khasnya serta irit bicara dan Ia sempat celetukan dengan nada menyindir orang yang menyebut dia "anak haram" karena pada saat kampanye Bapaknya, dirinya tidak pernah ikut dan tampil di publik. Saat itu, ia juga tampak berpakaian batik dan terlihat sederhana tanpa jas mewah. Gibran kemudian menjadi pembicaraan publik karena jarang sekali anak pejabat apalagi sekelas anak Presiden punya penampilan yang sederhana dan apa adanya seperti itu.

Saya sampai terharu ketika mengulang ulang menonton video tersebut. Gila, ini anak Presiden tetapi penampilan kayak anak Lurah.

Mungkin saya dan banyak kalangan juga ikut terpukau dengan sosok Gibran ini.

Semenjak saat itu saya tertarik mengikuti Kiprah Mas Gibran, saat tampil di acara Mata Najwa, Gibran ini mendapat sorak sorai dari audiens karena ia mampu menjawab pertanyaan Najwa Shihab dengan ceplas ceplos dan terkesan apa adanya. Pedagang Markobar itu banyak mengundang galak tawa para penonton di studio, apalagi pada saat topik yang ditanya Mbak Nana terkait sosok adiknya Kaesang Ketua Umum PSI saat ini.

Saya juga ikut terbahak-bahak karena jarang sekali saya tonton anak Presiden berbicara dengan gaya "pasaran" saat tampil di acara publik. Gibran kala itu benar-benar menurut banyak kalangan sebagai contoh dan suri teladan bagi anak pejabat yang suka flexing dan kebanyakan gaya.

Awal Gibran Merintis Karier Politik

Pada saat periode pertama kepemimpinan Presiden Jokowi, Bapaknya Gibran, kerap kali orang-orang menyebut ia akan menjadi suksesor Jokowi 15 hingga 20 tahun mendatang. Maklum syarat menjadi Calon Presiden itu usia minimal 40 tahun dan syarat usia Calon Wakil Presiden waktu itu usia minimal 40 tahun.

Banyak juga pengamat dari kelas teri, kelas nasional hingga kelas pengamat transaksional yang memprediksi hal yang sama. Pada beberapa waktu ketika ditanya oleh wartawan apakah Mas Gibran tertarik terjun ke dunia politik mengikuti jejak Bapaknya, ia kerap kali mengelak sama seperti jawaban adiknya Mas Kaesengan Ketum PSI itu. Mereka berdalih lebih fokus urus bisnis dan usaha mereka masing-masing. Maklum Mas Gibran ini pengusaha Markobar dan Mas Kaesang pengusaha pisang goreng.

Bidang usaha yang mereka tekuni adalah bidang usaha yang sangat jauh dari kelas politik APBN yang banyak mengurus proyek besar seperti tambang, migas dan sektor lain yang uangnya gede. Mereka juga tidak mau terlibat proyek infrastruktur yang sedang menjadi program Jokowi dengan anggaran fantastis itu.

Masyarakat Indonesia tentu  penuh decak kagum dengan Pak Jokowi karena dianggap berhasil mendidik anaknya untuk tidak cawe cawe dan memanfaatkan kekuasaan Bapaknya untuk mendulang keuntungan.

Seiring berjalannya waktu, pada periode kedua kepemimpinan Presiden Jokowi, Bapaknya Mas Gibran, banyak pihak terkejut dan kembali meninjau sudut pandang tentang Gibran. Ia yang dulunya selalu mengelak dan mengaku tidak tertarik terjun ke dunia politik tiba-tiba menyatakan diri untuk maju sebagai Calon Walikota Solo, kampungnya Presiden Jokowi. Setelah menyatakan diri maju, Gibran datangi kantor DPC PDIP Solo untuk menyerahkan berkas pendaftaran Walikota, namun saat itu, pendaftaran sudah ditutup. PDIP Solo kala itu sebetulnya sudah punya kader senior yaitu Ahmad Purnomo Wakil Walikota aktif, pasangan dari Walikota Solo yang sudah 2 periode F.X. Rudyatmo yang tidak lain adalah Ketua DPC PDIP Solo.

Ahmad Purnomo kemudian digadang-gadang akan menjadi suksesor dari Walikota F.X. Rudy. Di berbagai sudut Kota saya melihat banyak sekali baliho Pak Purnomo ini, ia menggandeng kader senior PDIP lainnya yaitu Teguh Prakoso dalam pilwalikota Solo 2020. Lanskap politik Solo kala itu berbeda, PDIP yang menjadi Partai Penguasa, baik di legislatif maupun eksekutif, mereka bisa mengusung kadernya tanpa harus berkoalisi dengan partai lain. Di beberapa pilwali sebelumnya, siapa pun yang diusung PDIP, pasti dilantik. Pasangan Purnomo-Teguh ini tentu didukung oleh seluruh para kader, karena PDIP Solo dikenal dengan kader yang solid dan militan. Wacana majunya Gibran kemudian ditentang oleh banyak kader termasuk Ketua DPC PDIP Solo, F.X. Rudy, karena menurutnya, Gibran belum cukup pengalaman baik di dalam kepengurusan PDIP maupun belum ada pengalaman politik. Terjadi dinamika yang luar biasa di PDIP, karena waktu itu wacananya, Gibran ini dipaksakan maju oleh Jokowi, sementara F.X. Rudy, dialah yang menduetkan Purnomo-Teguh ini untuk disiapkan menjadi Walikota dan Wakil Walikota Solo. 

Cerita kemudian berubah, saat Gibran yang sebelumnya ditolak berkasnya karena jadwal pendaftaran Cawali di PDIP Solo sudah tutup, ia kemudian terbang ke Jakarta untuk menemui Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri. Kedatangan Gibran ke Jakarta disinyalir oleh lobi Jokowi kepada Megawati. Megawati yang kala itu dikenal menghormati Jokowi kadernya yang menjabat Presiden kemudian memberikan rekomendasi kepada Gibran untuk maju Walikota Solo. Ahmad Purnomo harus menelan pil pahit dengan hasil rekomendasi tersebut, Ia pun mengundurkan diri dari Bakal Calon Walikota Solo, Balon Wakilnya Teguh Prakosa kelak tetap maju berpasangan dengan Mas Gibran kala itu dengan akronim "Gibran Teguh". Pasangan ini pun menang telak, seperti yang saya tulis di awal, siapa pun yang diusung PDIP di Solo pasti menang telak. Gibran Teguh pun sah menjadi Walikota dan Wakil Walikota Solo periode 2020-2025 setelah ditetapkan KPU Solo dengan presentasi suara 86.5 % mengalahkan rivalnya BAJO yang saat itu mendeklarasikan maju calon Walikota dan Wakil Walikota menit-menit akhir menjelang penutupan pendaftaran oleh KPU.

Menjadi Walikota Solo dan Blusukan Pejabat Tinggi Jakarta

Selama menjabat Walikota Solo, Gibran dinilai sukses membangun Kota Solo, banyak proyek dari pusat mengalir deras ke Solo. Kisah sukses dan banyaknya proyek dari pusat ini sangat wajar karena toh yang menjabat Presiden kala itu adalah Bapaknya Mas Gibran sendiri.

Tidak sampai disitu, terlihat banyak sekali menteri dan kelas pejabat Jakarta yang datang menemui Gibran di Solo, mulai dari kelas Menteri Kabinet Indonesia Maju maupun pengusaha nasional sekelas Dato Sri Tohir, Bos Mayapada, Boy Tohir, Harry Tanoe dan banyak lagi, itu diterima Gibran secara resmi sebagai Walikota, belum lagi yang kunjungan tidak resmi, hampir setiap minggu, saat saya masih kuliah di Universitas Sebelas Maret Solo, saya sering berkeliling sekedar mengunjungi saudara, sering mendengar suara Sirene dan melihat Strobo serta iring-iringan mobil baik yang arah dari atau ke Solo. 

Dalam pertemuan di warung kopi, saya juga sering mengobrol dengan Bapak-bapak dan mereka juga mengakui bahwa memang mereka sering melihat iring iringan mobil yang datang ke Solo untuk temui Gibran. Kedatangan mereka ke Solo menemui Gibran tentu saja bukan untuk sekedar ngopi dan "ngalor ngidul ngetan ngulon" namun punya tujuan, baik untuk lobi proyek, maupun untuk tujuan yang lain. Intinya tidak ada makan siang gratis dalam politik.

Santer kabar, banyak menteri dari Partai yang "tidak disukai" Jokowi kala itu sering datang bertemu Gibran untuk "cari muka" kepada Presiden Jokowi.

Ini memang lumrah dalam politik Indonesia, yang penting mereka hadir membawa ole-ole baik untuk Gibran sendiri maupun untuk warga Solo.

Bagi warga Solo, Gibran sangat populer terutama kebijakannya terkait upacara keagamaan seperti hari besar agama Islam, Hindu, Budha Konghucu serta hari besar umat Kristiani baik Katolik maupun Protestan. Gibran membuka halaman Balai Kota untuk dijadikan tempat menampilkan simbol-simbol keagamaan yang resmi di Solo.

Di depan kantor Balai Kota saat hari besar upacara keagamaan terlihat ornamen ornamen indah, apalagi kalau pada malam hari, lampu kelap kelipnya memanjakan mata bagi setiap orang yang melewati jalan tersebut.  Pemerintah Kota menyebut bahwa kebijakan tersebut merupakan upaya merawat toleransi beragam di Solo. Solo itu memang dikenal dengan warga yang ramah dan toleransi beragama sangat tinggi sejak dulu, layak dengan julukannya "Spirit of Java".

Kebijakan itulah yang dinilai para pendukung Gibran menjadi salah satu modal politik yang menjadi ukuran kesuksesan Gibran saat menjadi Walikota Solo untuk kemudian bisa lanjut mencalonkan diri untuk periode kedua Walikota maupun menuju Calon Gubernur Jawa Tengah di masa depan. Kalkulasi para pendukungnya ternyata salah, Gibran tidak maju untuk periode kedua Walikota Solo maupun Gubernur Jawa Tengah, atau di DKI Jakarta mengikuti jejak Bapaknya Presiden Jokowi.

Diluar harapan pendukungnya khususnya akar rumput dikejutkan saat Gibran melenting mencalonkan diri dan ikut kontestasi Pilpres yang berpasangan dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, bawahan Bapaknya Presiden Jokowi dalam ajang pilpres 2024.

Wapres Gibran dan Zig Zag Presiden Jokowi

Setelah menjabat 3 tahun, Gibran mengundurkan diri dari Walikota Solo pasca hasil putusan Mahkamah Konstitusi yang awalnya syarat usia Calon Presiden dan Wakil Presiden minimal 40 tahun kemudian dirubah menjadi 40 tahun dan atau pernah menjabat Kepala Daerah tentu menjadi landasan Konstitusional bagi Gibran untuk langgeng menuju konstelasi Pilpres 2024. Hasil keputusan tersebut, Gibran saat itu tentu secara konstitusi berhak untuk mengikuti kontestasi Pilpres.

Namun hasil Putusan MK tersebut menuai gelombang protes dari banyak pihak. Ada yang memilih protes di jalanan dan mendesak Mahkamah Konstitusi untuk mencabut Putusan tersebut, ada pula yang melalui koridor hukum  dan meminta putusan itu ditinjau kembali karena dinilai syarat politis dan intervensi kekuasaan, maklum saat itu Ketua Mahkamah Konstitusi dijabat oleh Anwar Usman yang tak lain adalah Paman  Gibran sendiri dan Ipar Presiden Jokowi.

Masyarakat Indonesia waktu itu terbelah, para intelektual dan akademisi memberikan pernyataan sikap, sebut saja Dewan Guru Besar UGM dan juga Dewan Guru Besar di beberapa kampus Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia. Namun protes tersebut tidak membuahkan hasil setalah KPU tetap menetapkan Prabowo-Gibran (PRAGIB) sah begitu juga kandidat lain Ganjar-Mahfud (GAMA) dan Anies-Muhaimin (AMIN), ketiga pasangan tersebut dinyatakan memenuhi syarat  sebagai Calon Presiden dan Wakil Presiden pada 13 November 2023.

Menariknya, kala itu Gibran masih menjadi kader PDIP, artinya secara kepartaian PDIP memiliki 2 kandidat yang bersaing dalam Pilpres, itu merupakan kali pertama Partai yang terkenal solid itu pecah berkubu-kubu.

Yang pertama adalah kubu Megawati yang mendukung Ganjar Pranowo, ia diusung secara resmi oleh Partai berlambang Banteng itu, yang kedua ialah Kubu Jokowi yang mendukung Gibran anak sulungnya berpasangan dengan Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra.

Internal PDIP pecah, kader kader pun ada yang mengundurkan diri dari PDIP seperti Maruarar Sirait, Budiman Sudjatmiko dan kader lainnya karena mereka tidak mendukung kader yang diusung PDIP Ganjar dan beralih dukungan ke Prabowo-Gibran.

Megawati tentu geram dengan Jokowi karena ia tidak tunduk pada keputusan Partai, langkah Jokowi dinilai mengkhianati partai yang membesarkan dia dari Walikota Solo, Gubernur DKI hingga menjadi Presiden RI selama 2 periode, dan memberi karpet merah untuk Gibran menjadi Wali Kota Solo.

Pada Kontestasi Pilpres 2024 Prabowo Gibran menang meyakinkan, KPU menetapkan pasangan Prabowo Gibran sah menjadi pemenang pemilu dan menjadi Presiden-Wakil Presiden periode 2024-2029 dengan memperoleh 58,6% jauh saingannya Ganjar Mahfud yang hanya memperoleh 16,5% dan Anies Muhaimin 24,9%. Kemenangan telak Prabowo-Gibran yang juga didukung koalisi Gemuk KIM-Plus tersebut dinilai karena cawe cawe Presiden Jokowi, berbagai tuduhan pun dialamatkan kepadanya yaitu dugaan penyalahgunaan kekuasaan, politisi bansos, pengerahan aparat negara, serta pembegalan konstitusi.

Beragam Tantangan Rezim Prabowo-Gibran

Pasca ditetapkan oleh KPU, Prabowo-Gibran pun dilantik melalui Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 20 Oktober 2024 dan secara resmi, Indonesia memiliki Presiden dan Wakil Presiden.

Menjelang setahun kepemimpinan Prabowo-Gibran banyak tantangan yang dihadapi, diantaranya adalah merealisasikan janji kampanye mereka soal Makan Siang Gratis, belum lagi soal Menghilangkan kemiskinan dan program-program lain yang dinilai bombastis. Bank Dunia mencatat, pada April 2025, sebanyak 60,3% atau setara 171,8 juta masyarakat Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan, tingkat pengangguran yang tinggi, hengkangnya perusahan-perusahan keluar negeri, tercatat oleh Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) sejak awal tahun 73 ribu lebih pekerja di PHK, belum lagi masalah korupsi di berbagai lembaga, 1 lembaga di 1 BUMN saja kerugian negara ditaksirkan hingga 1000 (Seribu) Triliun, belum lagi soal inflasi, nilai tukar rupiah yang melemah, pajak yang tinggi, dan dampak penetapan tarif resiprokal ke produk ekspor Indonesia sebesar 37%  oleh Amerika Serikat harga- harga barang makin mahal, itu baru tantangan ekonomi, belum tantangan keamanan, sosial dan politik. Capeh saya tulisnya, saya menulis masalah-masalah ini dengan jari hampir kaku dan hati penuh empati.

Sungguh sangat kompleks, ini butuh kerja keras dan kerja nyata yang cepat dan segera, ini harus disadari oleh Prabowo dan Gibran beserta para menteri pembantu pembantunya untuk tidak bermanuver sana sini, tetapi fokus urus negara dan rakyat yang sengsara. Saya tidak  punya kekuasaan, Prabowo-Gibranlah yang punya kekuasaan.

Teodorikus Hanpalam

Catatan Pinggiran

Tinggal di Jakarta

Masalah Prabowo dan Diamnya Megawati

Foto; tajukharian.com-Teo-Hanpalam-@/dok-pribadi

Saat ini, Indonesia dalam situasi tidak baik-baik saja. Keroposnya fondasi kekuasaan Prabowo diakibatkan oleh bayang bayang dalang politik yang sedang membayangi kekuasaan rezim ini. Koalisi  gemuk dan program yang berjalan tanpa tampak hasilnya dipandang sebagai kegagalan awal rezim Prabowo Gibran. Pernyataan podium berapi-api Prabowo untuk mengentaskan kemiskinan ternyata hanya semangat saja tanpa langkah strategis. Bagaimana tidak, data Bank dunia per April 2025 ini, masyarakat Indonesia masih terjerat kemiskinan dengan presentasi 60,3 % atau setara 171,8 juta penduduk hidup dibawah angka kemiskinan.

Riak-riak dan kegaduhan yang muncul akhir-akhir ini bisa jadi upaya menutupi kondisi ini. Prabowo yang bertekad sejak awal menghapus kemiskinan rupanya gagal menggerakkan roda pemerintahannya untuk memecahkan kondisi ini. Alih-alih mengurus masalah, rezim Prabowo masih sibuk dengan langkah politik siapa lawan siapa di 2029.

Inilah kerentanan Prabowo, dimana ia kehilangan fokus untuk mengurus berbagai masalah di dalam pemerintahannya. Manuver para menteri untuk mempertahankan kekuasaannya menegasikan peran mereka sebagai pembantu Presiden dalam mewujudkan Asta Cita. Prabowo tersandera, selain angka kemiskinan yang tinggi, kasus korupsi di BUMN sangat marak, misalnya saja di Pertamina Patra Niaga yang kerugian ditaksirkan mencapai hampir 1000 triliun. Gila kan. Ini hanya 1 BUMN dan lembaga, belum lagi lembaga yang lain.

Program Makan Siang Gratis yang gagal itu juga mengundang banyak polemik termasuk dari segi anggaran, pelaksanaan dan juga dari hasil yang dicapai di lapangan. Realita yang tidak sesuai yang diharapkan "Das Sollen Das Sein".

Masalah lain timbul yaitu kebebasan masyarakat sipil yang dianggap dibungkam seperti halnya keterlibatan Tentara dalam mengurus masalah di dalam negeri, pengesahan UU TNI banyak menimbulkan polemik, terbaru, Panglima TNI memerintahkan anggotanya untuk menjaga kejaksaan di seluruh Indonesia. Ini langkah dan urgensi apa sebenarnya yang sedang terjadi.

Kondisi Geopolitik juga sedang kacau, selain karena perang tarif antara Amerika dan Tiongkok serta pemberlakuan tarif resiprokal ke produk ekspor Indonesia sebanyak 37% menambah beban ekonomi  Indonesia, belum lagi PHK massal yang dicatat oleh Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) sebesar 73 ribu lebih pekerja dalam negeri di PHK sejak awal tahun. Inheren dengan tutupnya pabrik-pabrik dan hengkangnya pengusaha ke negara lain seperti Vietnam dan Thailand membuat rupiah juga terus melemah.

Kelesuan ekonomi ini membuat masyarakat bertanya, sejauh mana kemampuan Prabowo mengatasi masalah kompleks ini yang sedang terjadi. Alih-alih mengurus persoalan yang mengakar dan mendasar ini, Prabowo malah sibuk mengurus dan mengklarifikasi hubungan Pribadinya dengan Jokowi.

Jokowi yang ingin namanya terus dimunculkan untuk menjaga Kans anaknya Gibran di 2029 bagai gayung bersambut terus menggiring Prabowo untuk gagal mengurus internal kabinetnya.

Prabowo harus sepenuhnya sadar, Ia adalah Presiden sekarang. Prabowo harus bisa melepaskan diri dan fokus melaksanakan visi Asta Cita-nya itu. Sebab waktu terus berjalan dan itu yang tidak bisa dibeli oleh kita.

Diamnya Megawati

Megawati sebagaimana wataknya yang dibaca publik adalah sosok politisi ulung yang bertangan dingin. Ia tidak banyak bergumam, tidak banyak bicara. Sejauh ini, langkah Mega tersebut merupakan langkah yang tepat, ini signal bahwa Megawati sedang tidak ingin mengganggu Prabowo karena memahami kompleksitas masalah yang harus ditangani oleh pemerintahnya. Sinyal ini rupanya tidak dibaca dengan baik oleh Prabowo.

Diamnya Mega dan PDIP sebenarnya menyiratkan dukungan terhadap stabilitas pemerintahannya Prabowo, namun dibaca lain oleh Prabowo dan malah ia berusaha mengurus hubungan Mega dengan Jokowi. Perlu diketahui, hubungan Mega dan Jokowi tidak hanya masalah politik namun ini sudah menyentuh ke inti hati dari Mega dan PDIP karena pengkhianatan Jokowi. PDIP adalah Partai Ideologis dan Mega dan PDIP-nya sudah teruji oleh berbagai jaman. Sikap Mega dipandang berbagai pihak sebagai sikap politik yang tepat dalam lanskap Indonesia saat ini.

Ini harus dibaca Prabowo dengan sudut pandang Ideologi. Mega adalah putri Bung Karno pendiri Republik dan penggagas dasar negara Indonesia, jadi sangat tidak mungkin Megawati dalam diamnya beropoisi ingin melakukan destabilisasi keamanan. Tuduhan gerakan masyarakat sipil yang menolak RUU TNI dan demonstrasi beberapa waktu lalu yang "didalangi" PDIP untuk mengacaukan keamanan negara sehingga TNI harus turun tangan sangat lah kerdil.

Megawati dan PDIP-nya dengan langkah saat ini tidak perlu dianggap ancaman oleh rezim Prabowo. Justru rezim Prabowo harus fokus pada kuda troya yang sedang dalam kabinetnya. Mega tidak berbahaya namun yang berbahaya justru orang di lingkaran Prabowo sendiri yang sedang berusaha mencari cara untuk "mencuri" mengambil keuntungan dari kondisi lemahnya leadership Prabowo yang kehilangan fokus itu. Pada akhirnya, mungkin dalam hati Mega, Wo, kita tidak harus berpikir sama, yang penting kita sama-sama berpikir untuk bangsa ini. Demikian.


Teodorikus Hanpalam

Catatan Pinggiran

Tinggal di Jakarta

Paradigma Baru Penataan Sistem Pendidikan Tinggi

tajukharian.com- @/ ilustrasi

Tidak kita sadari, saat ini kita sudah berada pada abad 21. Suatu abad yang penuh dengan tantangan, mengingat sumber daya alam yang semakin menipis dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat yang jauh lebih berat dan kompleks sebagai akibat dari arus besar globalisasi yang terus menguat. Apabila dalam hukum alam dinyatakan bahwa energi yang lebih besar akan mengalir ke energi yang lebih kecil, ternyata dalam sistem global, yang kuat akan menghisap yang lemah, sehingga ketimpangan antarnegara maju dan negara berkembang akan semakin besar. Globalisasi juga telah menimbulkan ketidakadilan, karena negara berkembang masih sulit untuk mengimbangi kemampuan berkompetisi dan kemampuan mengikuti sistem pasar.

Globalisasi selain berpengaruh pada tatanan ekonomi, perkembangan iptek telah pula mengubah nilai sosial, budaya, dan lingkungan. Masyarakat yang tidak beradaptasi terhadap perubahan ini, dipastikan akan menjadi masyarakat yang tertinggal.

Globalisasi ekonomi dengan perdagangan bebas sebagai jargon utamanya semakin dipacu oleh perkembangan kemajuan iptek yang makin pesat. Sebagai konsekuensinya, persaingan antar umat manusia, antar kelompok dalam masyarakat, antar perguruan tinggi, antar bangsa menjadi semakin ketat. Dalam tatanan kehidupan masyarakat global, masyarakat akan semakin terdorong untuk memasuki kehidupan masyarakat mega kompetitif. Tidak ada tempat pada masyarakat di berbagai belahan dunia tanpa kompetisi. Kompetisi antar bangsa, antar perguruan tinggi telah semakin mengemuka dan menjadi prinsip hidup yang baru karena dunia semakin terbuka dan bersaing dalam intensitas yang semakin tinggi. Faktor terpenting agar bisa berkompetisi dalam persaingan itu adalah pendidikan.

Jean Jacques Servan Schreiber, dalam buku, The Japan Callenge (1980),  menulis begini:  ketika negara adikuasa AS  berlomba membuat senjata dan membangun militernya, maka Jepang sedikit pun tidak pernah menghiraukannya. Sebab Jepang menyadari kejatuhannya ketika perang dunia ke dua, disebabkan oleh superioritas militer  dan dengan demikian menurut Jean Jacques Servan Schreiber superioritas  di bidang militer dan persenjataan tak akan memberikan arti  bagi dunia dan kesejahteraan penduduknya. Maka negeri itu pun membiarkan negara adikuasa  untuk berlomba, sementara Jepang sendiri  berusaha mengarahkan segala sumber dayanya  untuk pengembangan kegiatan intelektual, penelitian ilmiah dan kreativitas di bidang ekonomi demi kesejahteraan penduduknya, melalui pendidikan.Hal ini memang sudah menjadi fakta sekarang ini, dimana Jepang  merupakan negara yang mempunyai pendapatan per kapita tertinggi di dunia dan sekaligus menjadi negara “adikuasa” dalam bidang perekonomian, dan negara itupun menjadi kreditor terbesar bagi negara-negara miskin, termasuk Indonesia. Jean Jacques Servan Schreiber menggambarkan,  Jepang sebagai negara yang akan memimpin dunia pada abad ini dan mendatang bersama-sama Jerman   – dua negara yang pernah kalah dalam perang dunia kedua.

Dalam buku yang dikutip tadi, Jean Jacques Servan Schreiber, menegaskan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi  akan menjadi “adikuasa”  pertama dan menjadi faktor determinan pada masa depan ketimbang militer.  Seperti halnya sekarang ini, tantangan yang paling besar yang dihadapi dunia adalah perang ekonomi, tapi pohonnya tetap pada satu hal, Everything depends on education.

Bagi sebuah negara berkembang, termasuk Indonesia, pendidikan harus ditempatkan pada skala prioritas dalam program pembangunannya maka secara otomatis uang akan mengalir dengan sendirinya.  .

Apa yang ditulis oleh Jean Jacques Servan Schreiber di atas,  sesungguhnya mau memperlihatkan kepada kita bahwa negara-negara yang berpengaruh maupun yang sudah mapan pada semua segi kehidupan pun,   pendidikan tetap menjadi pilihan prioritas dalam program pembangunan.  Pendidikan menjadi pilar utama dari sekian pilar lainya. Sudah menjadi adagium umum bahwa, sebuah negara disebut beradab dan maju pasti    pendidikan di negara tersebut sangat maju pula. Hal itu menjadi jelas betapa dinamika pendidikan  menjadi pangkal bagi proses kemajuan suatu bangsa, kendatipun negara-negara besar itu sudah menjadi makmur dan maju dan jauh  meninggalkan negara-negara berkembang, baik dalam kemakmuran ekonomi maupun  penguasaan bidang-bidang strategis lainnya 

Pendidikan tinggi (PT) saat ini  berhadapan dengan sebuah era yang disebut era turbulence-- suatu era yang penuh tantangan, perubahan. Sebuah PT dikatakan sebagai PT  kelas dunia (world class university/WCU) jika PT tersebut telah siap dan berhasil dalam kompetisi di arena global,  memiliki visi yang tidak hanya berkaitan dengan staf pengajar (dosen), peneliti, dan mahasiswa berwawasan global, tetapi juga berkaitan dengan institusi dan mitra global. Dengan demikian upaya keberhasilan untuk memanfaatkan sumber-sumber daya lokal, nasional maupun internasional akan memberikan kesempatan untuk menjadikan PT sebagai world class university (Ben Senang Galus, 2007).

PT sebagai sebuah lembaga akademik, harus mengemban cita-cita mencerdaskan dan mengembangkan kehidupan bangsa yang berbudaya luhur, bercita-cita menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni serta ilmu sosial dan kemanusiaan yang unggul dengan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu tinggi, melakukan penelitian dan pengembangan  untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa, serta kemaslahatan umat manusia.

Dalam mewujudkan cita-cita tersebut, PT harus senantiasa memegang teguh kebenaran dan keadilan, kejujuran  serta menegakkan asas-asas demokrasi, kebebasan dan keterbukaan, hak asasi manusia, pelestarian lingkungan hidup, serta etika kebenaran. 

Banyak usaha telah dirumuskan para ahli manajemen kualitas untuk mendefinisikan kualitas jasa atau pelayanan (service quality) agar  dapat didesain (designable), dikendalikan (controllable), dan dikelola (manageable), sebagaimana halnya dengan kualitas barang. Secara konseptual, manajemen kualitas dapat diterapkan baik pada barang maupun jasa, karena yang ditekankan dalam penerapan manajemen adalah peningkatan sistem kualitas (Hickman Craig, R. and Michael A. Silva, 1984)

Adalah sangat keliru apabila masih ada orang yang menganggap bahwa manajemen kualitas semata-mata ditujukan untuk produk industri, sehingga industri jasa, apalagi pendidikan tinggi belum menemukan format penerapan Total Quality Education  (TQE). Orientasi dari TQE bukan pada produk  (barang dan atau jasa) tetapi TQE berorientasi pada perbaikan manajemen system. Sebagai sebuah institusi pendidikan, maka manajemen PT --sebagai suatu manajemen sistem--, seyogianya terus menerus diperbaiki mengikuti konsep TQE. Dengan demikian yang perlu diperhatikan dalam pengembangan manajemen kualitas, adalah pengembangan sistem kualitas yang terdiri atas: perencanaan sistem kualitas, proses sistem kualitas, pengendalian sistem kualitas, peningkatan sistem kualitas dan evaluasi sistem kualitas, yang pada akhirnya menghasilkan lulusan yang  berkualitas (Vincent Gasper, 2005).

Setiap lulusan PT yang akan bekerja dalam sistem apa saja ( industri, bisnis, pemerintah dan pelayanan publik, dll), harus memiliki kemampuan solusi masalah-masalah sistem yang berkaitan dengan bidang ilmu yang dikuasainya berdasarkan informasi yang relevan, agar menghasilkan keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan untuk meningkatkan kinerja sistem itu.

Kemenade and Garre, dalam Ben Senang Galus (2007) mengidentifikasi delapan kategori yang dibutuhkan dari lulusan PT untuk memenuhi permintaan pasar tenaga kerja   yaitu: 1) berorientasi pada pelanggan, 2) memiliki pengetahuan praktis dan aplikasi alat-alat total quality management (TQM), 3) mampu membuat keputusan berdasarkan fakta, 4) memiliki pemahaman bahwa bekerja adalah suatu proses, 5) berorientasi pada kelompok (teamwork), 6) memiliki komitmen untuk peningkatan terus menerus, 7) pembelajaran aktif  (active learning), 8) memiliki perspektif sistem.

Mengikuti konsep berpikir manajemen sistem, maka manajemen PT seyogianya memandang bahwa proses pendidikan tinggi adalah suatu peningkatan terus menerus (continuous educational process improvement), yang dimulai dari sederet siklus sejak adanya ide-ide untuk menghasilkan lulusan (ouput) yang berkualitas, pengembangan kurikulum berbasis kompetensi global, proses pembelajaran yang interaktif, sampai kepada ikut bertanggungjawab untuk memuaskan pengguna lulusan itu.

Seterusnya berdasarkan informasi sebagai umpan balik yang dikumpulkan dari pengguna lulusan itu, dapat dikembangkan ide-ide kreatif untuk mendesain ulang kurikulum, memperbaiki proses pendidikan yang ada saat ini. Konsep pemikiran manajemen system, apabila dioperasionalkan, maka akan terdiri atas empat komponen utama, yaitu riset pasar tenaga kerja, desain proses PT berbasis kompetensi global, operasional proses PT yang interaktif, dan penyerahan lulusan yang kompetitif dan berkualitas ke pasar tenaga kerja.

Dalam hal ini manajemen PT memerlukan suatu interaksi tetap antara riset pasar tenaga kerja, desain proses pendidikan tinggi berbasis kompetensi global, operasional pendidikan tinggi yang interaktif, dan bertanggungjawab menghasilkan lulusan yang kompetitif dan berkualitas ke pasar tenaga kerja, agar PT mampu berkompetisi dalam persaingan global. 

Berkaitan dengan hal ini, jelas PT sudah saatnya melakukan reorientasi, bukan sekadar menghasilkan lulusan sebanyak-banyaknya tanpa peduli akan kepuasan pengguna lulusan itu, tetapi harus bertanggungjawab untuk menghasilkan output yang kompetitif dan berkualitas agar memuaskan kebutuhan pengguna tenaga kerja terampil berpendidikan tinggi. 

Konsekuensi dari pemikiran ini, maka penerapan TQE pada PT harus dijalankan atas dasar pengertian dan tanggung jawab bersama dari  semua civitas akademika. Melalui operasionalisasi manajemen sistem yang dijalankan secara konsisten, maka PT  akan mampu memenangkan persaingan global yang amat sangat kompetitif dan memperoleh manfaat (ekonomi maupun nonekonomis) yang dapat dipergunakan untuk pengembangan PT ke depan dan peningkatan kesejahteraan personel yang terlibat dalam PT.

Penerapan TQE dalam manajemen PT, menunjukkan bahwa perlu adanya sinergi antara PT dengan pemerintah, pelayan public,  bisnis, industry, profesi, alumni baik dalam negeri maupun luar negeri. Bagaimana kalangan PT bisa bersinergi dengan dunia luar seperti di atas, masih menjadi masalah utama dan tanda tanya besar bagi PT saat ini..

Pengamatan penulis menunjukkan bahwa  PT masih lemah sinerginya dengan dunia luar yang menjadi pasar tenaga kerjanya, sehingga diperlukan networking dengan dunia luar. Lemahnya sinergi ini berkaitan dengan lemahnya kualitas sistem kepemimpinan serta rendahnya kualitas tridarma PT saat ini.

Berkaitan dengan  pasar tenaga kerja dan universitas, Cobb et.al, dalam Ben Senang Galus (2007) telah mengembangkan petunjuk untuk kemitraan kualitas total  (total quality partnership) antara pasar tenaga kerja dan universitas berdasarkan bukti keberhasilan dari delapan universitas di AS yang bekerja sama dengan berbagai dunia bisnis dan industri, melalui pengkombinasian pengalaman dan pengetahuan teknikal dari karyawan industri yang nota bene merupakan alumni dari universitas itu dengan ide-ide cemerlang dan teknik-teknik penyelesaian masalah teoritikal yang dipelajari mahasiswa di ruang kelas perguruan tinggi.

Beberapa petunjuk yang perlu diperhatikan oleh pemberdayaan manajemen PT adalah; 1) memilih mitra kerja sama antara PT dan institusi yang mempekerjakan lulusan PT itu secara hati-hati., 2) memilih anggota kelompok yang terdiri atas kombinasi antara mahasiswa  dan karyawan dari institusi itu yang nota bene adalah alumni PT, untuk suatu proyek peningkatan kualitas  dari organisasi PT dengan melibatkan dosen-dosen sebagai fasilitator, 3) memberikan pelatihan TQE dan fasilitas yang diperlukan, 4) memberikan kepemimpinan positif dalam solusi masalah ( problem solving team) sebagai bentuk tanggung jawab bersama dari manajer-manajer perusahaan-perusahaan dan pimpinan pemda atau lainnya dengan dosen-dosen , 5) mendukung melalui penyiapan sumber-sumber daya yang dibutuhkan, dan 6) meninjau ulang secara teratur setiap kemajuan yang diperoleh melalui proyek kerja sama peningkatan kualitas PT itu (Vincet Gasper, 2005).

Dalam kasus yang lain, Megavero and  Lake,  ( 2000) mengemukakan suatu studi kasus tentang  peningkatan proses  pendidikan pada Pensylvania University, AS, dimana dalam hal ini pihak universitas membentuk tim-tim kelompok studi kualitas ( quality studi groups teams)  yang terdiri atas delapan sampai sepuluh orang yang ingin berpartisipasi, belajar, dan membagi pengetahuan tantang peningkatan kualitas PT.

Fasilitator dipilih dari anggota tim, dimana individu ini bertanggungjawab untuk pembagian pembuatan keputusan, menjaga agar pertemuan-pertemuan tim sesuai arah dan tujuan. Dari kelompok-kelompok studi kualitas itu, terdapat tim pengarah, yang biasanya terdiri atas dua orang yang bertanggungjawab pada proses dan memiliki wewenang untuk melalukan perubahan-perubahan dalam proses pendidikan universitas. Terdapat pula penasihat kualitas, yang merupakan koordinator untuk peningkatan kualitas terus menerus dari universitas itu dapat menggunakan model yang telah dikembangkan dan diterapkan oleh universitas-universitas  terkemuka sebagai strategi untuk benchmarking ( meniru dan memperbaiki).

Berkaitan dengan hal di atas , maka sebagai salah satu wujud kebijakan berkaitan dan kesepadanan PT perlu mengubah orientasi dengan lebih memperhatikan kebutuhan pasar kerja (market driven). PT  sebagai penghasil lulusan S1 dan S2 ataupun S3 harus terkait dengan kebutuhan  tenaga kerja lokal, nasional, dan internasional secara menyeluruh, sehingga diharapkan berkurangnya  angka pengangguran intelektual lulusan PT. 

PT harus  mampu menampung kebutuhan khusus  pengguna lulusan. Oleh karena itu PT harus berorientasi pada pemecahan masalah ( ilmiah, teknologi, sosio-kultural). Dalam hal ini setiap lulusan PT harus memiliki sikap-sikap profesional, mandiri, kreatif, proaktif, dan wirausaha. 

Untuk mewujudkan itu PT harus bangkit, berinovasi dalam merespons terhadap perubahan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini, agar tidak semakin tertinggal  jauh dan punah  akibat ditinggal para pemangku kepentingan.  Inovasi  dan pengembangan PT  harus menjadi bagian dari proses menyeluruh dan terintegrasi  dalam seluruh rangkaian kegiatan  akademik sehingga capaian-capaian yang diperoleh  terukur dan  dan berdampak  pada pemeringkatan tingkat dunia. 

Hal ini hanya mungkin tercapai apabila dosen-dosen dan karyawan PT juga memiliki kualifikasi profesional yang dibutuhkan. Dalam hal pelatihan tentang TQE merupakan hal mutlak dimulai dari pemimpin manajemen PT sampai kepada dosen-dosen dan karyawan.. Dengan demikian setiap civitas  akademika terutama dosen, karyawan dan lulusan akan menjadi seorang problem solver yang berhasil ( bukan problem maker yang pecundang) serta memiliki sepuluh karakteristik kualitas berikut: 1) kreatif, 2) pemimpin, 3) analitikal, 4) terstruktur, 5) sistematik, 6) intuitif, 7) kritis, 8) informatif, 9) synthesizer, dan 10) berorientasi tim.


Oleh Ben Senang Galus

Dosen, Penulis Buku/Esais, tinggal di Yogyakarta

Energi Geothermal, Potensi Listrik di Flores



tajukharian.com-alberto.adiluhung.tambur-@/dokpribadi
Tajukharian.com-Polemik goethermal Flores menuai polemik di tengah masyarakat, terutama bagi kalangan aktivis yang menolak kehadiran proyek yang diinisiasi PLN tersebut. Menurut mereka, kehadiran Geothermal dinilai akan mengancam kehidupan sosial dan lingkungan masyarakat. Pihak Pemprov NTT sebelumnya melalui Gubernur ingin mengevaluasi proyek ini, namun belakangan Gubernur Melkiades Laka Lena berkomitmen untuk meneruskan proyek Geothermal dengan catatan tetap memperhatikan masukan aktivis dan pihak Gereja Katolik.
Terkait soal ancaman terhadap lingkungan, Ferdinandus Hasiman dalam Podcastnya dengan seorang Alumnus Geologi dari Manggarai, Alberto Adiluhung Tambur menjelaskan bahwa, isu terkait efek gempa bumi dan potensi terhadap pemcemaran air minum dinilai tidak signifikan, terutama ketika pihak yang melakukan pengebor dapat menggunakan teknologi mutahir.
 
Alberto Aduluhung Tumbar dalam wawancara dengan pengamat Tambang dan Energi, Ferdy Hasiman pada tanggal 11 Mei 2025 yang ditonton media ini di channel Facebook Ferdi Hasiman pada 27 Mei 2025 mengatakan, bahwa geothermal merupakan energi panas bumi yang paling aman untuk sumber kelistrikan di Indonesia dan NTT pada umunya. Apalagi menurut dia, Flores adalah daerah ring of fire (Cincin api) yang dianugerahi potensi panas bumi yang sangat bermanfaat untuk supply listrik ke depan, karena 80 persen kelistrikan Flores masih bersumber pada Bahan Bakar Minyak (BBM) dan batubara yang sangat tinggi karbon dan dampak pencemaran lingkungannya sangat besar. 

“Geothermal itu hasil dari peristiwa gesekan lempeng yang dapat memicu energi panas bumi dan dapat dikelola menjadi energi listrik. Terbentuknya panas bumi dapat menghasilkan uap yang kemudian uap itu menghasilkan Geothermal yang dapat digunakan untuk energi listrik. Secara konsep panas bumi ini artinya panas yang terperangkap dalam perut bumi, jadi secara konsep pembentukannya kalau misalnya mungkin kita dulu pernah mendengar istilah lempeng-lempeng. Lempeng itu sebenarnya bagian-bagian dari daratannya sangat luas lah ibaratnya ada Australia sebelah selatan terus ada Indo Asia di atas Euro Asia lah. Jadi ketika lempeng ini bertumpukan dipertemukan akan muncul gesekan gesekan." Jelasnya

Erto menjelaskan, dengan adanya gesekan ini, maka akan muncul panas. Panas Bumi menurutnya akan membuat geothermal itu muncul. Erto menjelaskan, keterdapatan Geothermal biasanya dijalurnya.

“Nah kebetulan di Pulau Flores ini dilalui oleh Cincin Api, Ring of Fire. Maka keterdapatannya itu akan ada, di sekitar itu, biasanya di sebelah Selatan”

Erto juga menjelaskan bagaimana cara mengambil panas bumi untuk menghasilkan uap yang menjadi sumber listrik. Menurutnya yang paling utama diambil adalah panasnya. 

"Ketika kita melakukan sebuah proses pemboran yang dicari, yaitu, di mana keterdapatan panas itu biasanya di kedalaman Ribuan meter ke bawah. Ketika sudah mencapai lapisan tersebut, panasnya kita ambil, lalu panasnya dialirkan oleh ke pipa ke atas sampai di pipa masuk ke Turbin. Panasnya inilah yang akan menggerakkan Turbin. Setelah  Turbin itu digerakkan, panasnya ini akan dialihkan lagi kebawah ke sistem”, kata lulusan geologi lulusan Universitas Trisakti Jakarta itu.

Saat ditanya mengenai kebutuhan lahan yang diperlukan dalam untuk pemboran Geothermal, Erto menegaskan bahwa Pemboran untuk pipa itu tidak butuh banyak tempat atau lahan, tetapi untuk fasilitas penunjang memang dibutuhkan beberapa hektar.

"Pemboran itu sendiri lubangnya itu sekitar diatasnya ya sekitar 30 sampai 40 inci  kurang lebih. Jadi kecil saja karena akan dibor ke bawah. Hanya saja untuk luas lingkup pengerjaannya mungkin 2 hingga 3 hektar. Mungkin butuh beberapa hektar untuk segala fasilitas”, katanya. 

Lantas bagaimana dengan pengolahan uap yang berpotensi mengandung pencemaran? Erto mengatakan, zat kimia yang terbang bersamaan dengan uap dijinakkan dengan teknologi yang tepat dan pengembang seperti PLN biasanya sudah mahir menjinakan ini, sehingga tak perlu takut risiko.

"Nah uapnya ini sebenarnya dia yang akan menggerakkan si Turbin ini, nah uap ini kan sebenarnya kan air cumin, karena prosesnya aja dia menjadi air, dia akan diarahkan lagi ke dalam istilahnya Resevoir. Reservoir ini tempat pembentukan si panas ini, dia kan siklus terus siklus terus." Jelas Putra Manggarai itu.

Ketika ditanya apakah pemboran Geothermal ini mempengaruhi air tanah yang dipakai untuk keperluan sehari hari ia menegaskan penggunaan air tanah masih batas aman.

"Secara konsep tidak mungkin terpengaruhi karena air permukaan itu ada hanya berada diatas sekitaran berapa meter kedangkalan lebih dangkal sementara target kita dalam. Mungkin karena ada beberapa kejadian tercemar ya mungkin karena pengaruh dari area lain." Jelas Erto sapannya

Ia membantah soal efek gempa yang besar akibat pengeboran Geothermal. "Secara konsep tidak mungkin, tetapi karena untuk getarannya getarannya kecil dan juga gempa itu kan dia kan proses Tektonik artinya ada  pergeseran lempeng, lempeng ini yang bergeser maka akan menggetarkan beberapa wilayah."

Menurut Erto dari sudut pandang keilmuan, geothermal ini paling aman untuk lingkungan dan keberlanjutan listrik Flores.

"Efek secara lingkungan maksudnya pencemaran air, yang pertama yang paling concern kan Geothermal ini sebenarnya sulfurnya itu gas beracun, jadi sebenarnya sulfur itu dimanifestasi pun Geothermal itu dia sudah ada, seperti di beberapa tempat lain, uap air panas itu cuman kandungannya sedikit. Namun, prinsipnya begini, setiap itu pasti ada pemantauan, jadi ketika sulfurnya itu naik itu terus diantisipasi”, Tegas putra Manggarai Flores itu.

Polemik Energi Panas Bumi di NTT, Ini Penjelasan Alumnus Geologi Universitas Trisakti Jakarta

Foto: tajukharian.com- Alberto A. Tumbar dan Ferdy Hasiman @/dok.pribadi
Tajukharian.com-Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) atau geothermal di Flores menimbulkan polemik, pro-kontra. Polemik terjadi karena masih minimnya pengetahuan masyarakat dan juga pemangku kepentingan terkait energi panas bumi. Yang jelas, panas bumi adalah bagian dari transisi energi atau energi bersih yang juga disuarakan para pemimpin dunia di KTT Glasgow tahun 2021 silam. 

Polemik goethermal Flores ternyata mendapat perhatian khusus juga dari anak-anak NTT, lebih khusus anak-anak Manggarai Raya yang sudah menyelesaikan studi mereka di jurusan geologi dan sekarang bekerja di perusahaan minyak di Jakarta. 

Alberto Aduluhung Tumbar dalam wawancara dengan pengamat Tambang dan Energi, Ferdy Hasiman di chanel FB Ferdy Hasiman mengatakan, bahwa geothermal adalah energi panas bumi yang paling aman untuk sumber kelistrikan di Indonesia dan NTT pada umunya. Apalagi menurut dia, Flores adalah daerah ring of fire (Cincin api) yang dianugerahi potensi panas bumi yang sangat bermanfaat untuk supply listrik ke depan, karena 80 persen kelistrikan Flores masih bersumber pada Bahan Bakar Minyak (BBM) dan batubara yang sangat tinggi karbon dan dampak pencemaran lingkungannya sangat besar. 

“Geothermal itu hasil dari peristiwa gesekan lempeng yang dapat memicu energi panas bumi dan dapat dikelola menjadi energi listrik. Terbentuknya panas bumi dapat menghasilkan uap yang kemudian uap itu menghasilkan Geothermal yang dapat digunakan untuk energi listrik. Secara konsep panas bumi ini artinya panas yang terperangkap dalam perut bumi, jadi secara konsep pembentukannya kalau misalnya mungkin kita dulu pernah mendengar istilah lempeng-lempeng. Lempeng itu sebenarnya bagian-bagian dari daratannya sangat luas lah ibaratnya ada Australia sebelah selatan terus ada Indo Asia di atas Euro Asia lah. Jadi ketika lempeng ini bertumpukan dipertemukan akan muncul gesekan gesekan." Jelasnya

Erto menjelaskan, dengan adanya gesekan ini, maka akan muncul panas. Panas Bumi menurutnya akan membuat geothermal itu muncul. Erto menjelaskan, keterdapatan Geothermal biasanya dijalurnya.

“Nah kebetulan di Pulau Flores ini dilalui oleh Cincin Api, Ring of Fire. Maka keterdapatannya itu akan ada, di sekitar itu, biasanya di sebelah Selatan”

Erto juga menjelaskan bagaimana cara mengambil panas bumi untuk menghasilkan uap yang menjadi sumber listrik. Menurutnya yang paling utama diambil adalah panasnya. 

"Ketika kita melakukan sebuah proses pemboran yang dicari, yaitu, di mana keterdapatan panas itu biasanya di kedalaman Ribuan meter ke bawah. Ketika sudah mencapai lapisan tersebut, panasnya kita ambil, lalu panasnya dialirkan oleh ke pipa ke atas sampai di pipa masuk ke Turbin. Panasnya inilah yang akan menggerakkan Turbin. Setelah  Turbin itu digerakkan, panasnya ini akan dialihkan lagi kebawah ke sistem”, kata lulusan geologi lulusan Universitas Trisakti Jakarta itu.

Saat ditanya mengenai kebutuhan lahan yang diperlukan dalam untuk pemboran Geothermal, Erto menegaskan bahwa Pemboran untuk pipa itu tidak butuh banyak tempat atau lahan, tetapi untuk fasilitas penunjang memang dibutuhkan beberapa hektar.

"Pemboran itu sendiri lubangnya itu sekitar diatasnya ya sekitar 30 sampai 40 inci  kurang lebih. Jadi kecil saja karena akan dibor ke bawah. Hanya saja untuk luas lingkup pengerjaannya mungkin 2 hingga 3 hektar. Mungkin butuh beberapa hektar untuk segala fasilitas”, katanya. 

Lantas bagaimana dengan pengolahan uap yang berpotensi mengandung pencemaran?  Erto mengatakan, zat kimia yang terbang bersamaan dengan uap dijinakkan dengan teknologi yang tepat dan pengembang seperti PLN biasanya sudah mahir menjinakan ini, sehingga tak perlu takut risiko.

"Nah uapnya ini sebenarnya dia yang akan menggerakkan si Turbin ini, nah uap ini kan sebenarnya kan air cumin, karena prosesnya aja dia menjadi air, dia akan diarahkan lagi ke dalam istilahnya Resevoir. Reservoir ini tempat pembentukan si panas ini, dia kan siklus terus siklus terus." Jelas Putra Manggarai itu.

Ditanya apakah pemboran Geothermal ini mempengaruhi air tanah yang dipakai untuk keperluan sehari hari ia menegaskan penggunaan air tanah masih batas aman.

"Secara konsep tidak mungkin terpengaruhi karena air permukaan itu ada hanya berada diatas sekitaran berapa meter kedangkalan lebih dangkal sementara target kita dalam. Mungkin karena ada beberapa kejadian tercemar ya mungkin karena pengaruh dari area lain." Jelas Erto

Iapun membantah soal efek gempa yang besar akibat pengeboran Geothermal. "Secara konsep tidak mungkin, tetapi karena untuk getarannya getarannya kecil dan juga gempa itu kan dia kan proses Tektonik artinya ada  pergeseran lempeng, lempeng ini yang bergeser maka akan menggetarkan beberapa wilayah."

Menurut Erto dari sudut pandang keilmuan, geothermal ini paling aman untuk lingkungan dan keberlanjutan listrik Flores.

"Efek secara lingkungan maksudnya pencemaran air , yang pertama yang paling concern kan Geothermal ini sebenarnya sulfurnya itu gas beracun, jadi sebenarnya sulfur itu dimanifestasi pun Geothermal itu dia sudah ada, seperti di beberapa tempat lain, uap air panas itu cuman kandungannya sedikit. Namun, prinsipnya begini, setiap itu pasti ada pemantauan, jadi ketika sulfurnya itu naik itu terus diantisipasi”, kata Alumnus Geologi Trisakti itu.*

Fenomena Krisis Kemampuan Berpikir Mahasiswa


tajukharian.com-ilustrasi mahasiswa-web/@jurnalposmedia
tajukharian.com-Beberapa abad lalu, seorang filsuf Yunani, Diagne le Cynique, menyalakan obor pada siang hari, seraya berjalan di tengah kerumunan manusia. Ketika salah seorang dari kerumunan itu bertanya perihal aksinya itu, sang filsut menjawab “Uffatisu an insanin”. Artinya, “Aku sedang mencari manusia”. Apa yang dilakukan sang filsuf tadi sebenarnya beranjak  dari hasil refleksi yang intens atas kondisi kehidupan manusia pada zaman dan tempatnya, kondisi kehidupan mana sudah terlalu jauh dari alam manusiawi, karena tergilas oleh semangat rationalisme yang cukup tinggi. Oleh semangat rasionalisme yang berlebihan, manusia kala itu lebih tampil sebagai animale rationale ketimbang ens sociale. 

Mengamati kehidupan mahasiswa saat ini, barangkali sudah saatnya para rektor di perguruan tinggi (PT) tempat ia belajar mengadakan aksi serupa, sambil berjalan di tengah kerumunan mahasiswa, seraya menyampaikan Uffatisu an Mahasiswa Nusa Tenggara Timur (aku sedang mencari mahasiswa Nusa Tenggara Timur). Hal ini beranjak dari hasil refleksi intens saya selama beberapa tahun terakhir ini di mana banyak mahasiswa  di PT saat ini  sedang menjauhi kehidupan kampus yang dicita-citakannya dan dicita-citakan oleh sebuah pendidikan tinggi umumnya. Mahasiswa yang semestinya menampilkan etos dan semangat ilmiah, justeru begitu tumpul di PT. Kultur akademis yang semestinya bertumbu subur, namun justeru tertimpa kemarau panjang. Kehidupan mahasiswa saat ini  semakin sepi dan jauh dari kegiatan intelektual yang menjadi tanda khas kehidupan kampus. Itulah salah satu fakta emperis mahasiswa saat ini, mereka cenderung malas berpikir malas membaca, serba gampang.

Sejarah kehidupan kampus awal mulanya mahasiswa mempunyai otoritas penuh untuk menyelenggarakan kegiatan perkuliahan. Para profesor hanya semata-mata atau tak lebih dari ‘pengajar-pengajar pribadi yang bertualang”, yang bebas dari segala macam keterikatan sebuah kampus. Mahasiswa kala itu  dengan penuh semangat mendatangkan para profesor ke kampus demi mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya dan sedalam-dalamnya. Pokoknya suasana kampus ketika itu penuh dengan kegiatan ilmiah atau stadium generale. 

Persoalan ini memang tidak berdiri sendiri. Seiring dengan munculnya kebijakan pemerintah menerapkan kebijakan satuan kredit smeseter (SKS) pada PT, tradisi kegiatan ilmiah lenyap pula, di mana hubungan mahasiswa dengan kampusnya bersifat “loco parentis”. Dengan pengertian bahwa para mahasiswa ibarat “anak asuhan” dari sebuah PT yang bertanggungjawab atas bimbingan dan perkembangan pribadi mahasiswa. Bersamaan dengan itu muncullah peran-peran mahasiswa sebagai “santri-santri”, sebagai pelanggan biasa  yang mengambil berbagai pelajaran untuk mencari gelar dan selebihnya sebagai “bohemians” (petualang-petualang) atau pemisah diri yang berada di kampus, yang memisahkan dirinya dari kegiatan akademis yang sungguh-sungguh. Peran seperti itu tentu saja memancarkan kadar kehidupan akademis mahasiswa yang berbeda-beda.

Pengkhianat Intelektual

Krisis kemampuan berpikir di kalangan mahasiswa dengan mudah dipantau dari kreativitas penelitian dan menulis, karena kemampuan penelitian dan menulis tidak bisa dipisahkan dengan kebiasaan membaca. Maka, jika mahasiswa diserahi tugas penelitian dan menulis, mereka bisa menggunakan jasa orang lain atau bahkan membeli hasil penelitian dan tulisan orang lain, yang dengan mudah kita temukan, di sana terdapat ratus hasil penelitian dan tulisan orang dengan mudah para mahasiswa membeli atau dengan cara foto kopi. Apalagi sekarang ini   mudah di akses lewat internet melalui fasilitas google, dengan   melakukan “copy and paste”, tanpa malu-malu menyebut sumbernya.  

Jelaslah paradoksal (antagonistis) karena bahkan sering bertolak belakang, konon katanya Indonesia penuh dengan PT, namun di sisi lain praktik-praktik seperti ini sering terjadi, karena itu berarti sebuah bentuk pengikisan integritas intelektual serta sebuah bentuk pengingkaran kebenaran. Sesungguhnya, hal demikian erat hubungannya dengan kondisi obyektif sebuah PT, yang tidak pernah memedulikan segi-segi penalaran atau kualitas mahasiswa.

Dalam terminologi Julien Benda (La Trahison des Clercs 1927), mengatakan, para cendekiawan atau ilmuwan yang mengingkari kebenaran dan keadilan demi kepentingan primordial dan politik bisa disebut sebagai pengkhianat moral. Pada hakikatnya cendekiawan atau ilmuwan tidaklah memiliki tujuan-tujuan praktis. Motif kegairahan mereka adalah berbakti kepada kebenaran atau bukan untuk memperoleh keuntungan sosial, politik, dan kebenaran. “Kerajaanku bukanlah di dunia ini”, itulah seharusnya kata hati setiap cendekiawan atau ilmuwan, demikian tulis Benda.

La Trahison des Clercs memang sebuah kritik terhadap kecenderungan dan kegairahan para intelektual atau cendekiawan Perancis awal abad XX untuk masuk dalam kancah politik. Kritik itu masih relevan untuk kita hubungkan kepada mahasiswa kita di saat ini. Kebanyakan mahasiswa kita saat ini sudah keluar dari dasar profesi keilmuan dan menyerahkan diri pada golongan yang berkuasa demi pemenuhan kepentingan sosial dan kebendaan semata. Maka mahasiswa seperti ini bisa diklasifikasikan, sebagai “mahasiswa pengecut”. Atau meminjam terminologi Julian Benda, apa yang disebutnya sebagai ”Pengkhianat Intelektual”. Mereka hanya mau menciptakan sesuatu yang serba gampang, tanpa melalui suatu kerja keras.

Entah besar atau kecil, bahwa kultur akademis mahasiswa telah kehilangan semangat yang dipengaruhi oleh satu kondisi obyektif sebuah PT, yang terwujud dalam beberapa gejala dominan atau berupa komitmen yang diemban atau karakteristik masalah yang dihadapi oleh sebuah PT yang digerogoti banyak penyakit, seperti miskin dana, kompetensi dan kapabilitas dosen masih rendah serta fasilitas kampus yang serba minim.

Demikian pula PT sekarang, lebih mirip dengan sebuah pabrik konsumsi massal, ketimbang lembaga pendidikan profesional, sehingga kualitas lulusannya sangat diragukan. Oleh karena itu segala apa yang tak perlu untuk penelitian atau demi keterampilan profesional yang dicari semakin tersingkir.

Selain itu, pada diri mahasiswa, hidup senang-senang dan memboroskan waktu adalah hal yang biasa. Dan bahwa di Indonesia masih ada mahasiswa yang sekali-kali menyanyikan lagu kuno “gaudeamus igitur iuvenes dum sumus” (bersenang-senang selama kita masih muda), merupakan suatu ironi besar yang tak disengaja mengingat mereka berada di bawah tekanan sistem SKS dan sekian banyak peraturan lain (Franz Magnis Suseno, 1984)

Edward Shils, dalam Dick Hartoko (ed), 1981, menggolong PT (universitas)  ke dalam beberapa kelompok yakni, Universitas Massa, Universitas Pengabdian Masyarakat, Universitas Politik, Universitas yang didominasi Pemerintah, Universitas yang mengalami Birokrasi, Universitas yang Miskin Dana, Universitas di bawah Sorotan Publisitas, Universitas Penelitian, Universitas yang Terpecah Belah, dan Universitas yang Kehilangan Semangat.

Betapa pun PT mempunyai masalah tersendiri, semua PT di manapun juga mempunyai misi yang tetap sama yakni mempertahankan kampusnya sebagai pusat riset, pusat studi, pusat pengembangan intelektual, wawasan, kepribadian dan peradaban. Dengan demikian, kampus tidak hanya menghasilkan kaum cerdik cendikia, tetapi pribadi-pribadi yang utuh, yang seimbang intelektual dan mental. Salah satunya adalah mahasiswa harus mampu membangun kehidupan akademis yang baik dan bermutu dalam suasana diskusi atau seminar-seminar, memecahkan persoalan bangsa, ketimbang bersantai ria di mall atau berjoget ria di kafe, atau utak atik HP, atau sering kumpul-kumpul yang tidak produktif.

Budaya Akademis

Mahasiswa tidak cukup sekadar menghadiri kuliah. Lebih dari itu mahasiswa  harus memiliki naluri intelektual memadai yang harus tampak dalam semangat scientific bewareness dan semangat scientific inquiry. Kedua semangat ini merupakan faktor kunci bagi tumbuhnya suatu budaya akademis dalam kehidupan kampus seorang mahasiswa.

Perkuliahan hanyalah satu elemen penting, namun bukan satu-satunya jantung utama yang menggerakkan kemajuan akademi mahasiswa. Sang humanis Seodjatmoko menegaskan bahwa jantung kehidupan kampus umumnya dan kehidupan akademis mahasiswa khususnya bukanlah terletak pada proses belajar mengajar. Menurutnya ada tiga elemen penting yang menjadi modal pertumbuhan kehidupan akademis mahasiswa.

Pertama, perpustakaan atau sering juga disebut “ intelectual machine”, sebagai mesin yang menggerakkan sendi-sendi kehidupan intelektual mahasiswa. Namun saat ini banyak perpustakaan kampus jarang dikunjungi mahasiswa, karena mahasiswa lebih sering memanfaatkan jasa orang lain untuk menyelesaikan tugasnya. Kedua, laboratorium, sebagai tempat untuk melatih mahasiswa dalam berbagai keterampilan dan untuk kepentingan pengamatan dan penelitian demi menunjang kegiatan akademis secara keseluruhan. Ketiga, hubungan kooperatif dosen-mahasiswa. Antara mahasiswa-dosen perlu dikembangkan relasi partnership demi terwujudnya suatu hubungan koperatif yang harus dilandasi oleh semangat keterbukaan, dialog, jujur dan saling pengertian yang tinggi.

Edward Shils mengatakan bahwa kebesaran sebuah kampus tidaklah ditentukan oleh lancar dan tertibnya seluruh peraturan akademis dan proses perkuliahan, tetapi sejauh mana seluruh warga kampus itu, menegakkan dan menjunjung tinggi etika akademis, yang ditandai oleh semangat dan kejujuran ilmiah. Budaya bermalas-malasan, belajar dengan moral minimalis, budaya plagiat atau budaya foto kopi merupakan bentuk pengkhianatan intelektual menurut terminologi Julian Benda.

Ketidakberdayaan mahasiswa dalam mengembangkan tradisi diskusi-diskusi, sama artinya mahasiswa sedang melakukan satu proses pauperisasi atau proses pemiskinan intelektual. Maka pada gilirannya proses pauperisasi ini akan melahirkan sarjana-sarjana serba tanggung, yaitu sarjana yang serba terbatas kapasitas keterampilannya, serba terbatas wawasannya dan serba terbatas lingkup ilmiahnya, sarjana yang tidak mampu berkompetisi.

Kehidupan mahasiswa saat ini lebih tampak dalam kegiatan massal yang cenderung rekreatif ketimbang kreatif, seperti study tour, menaklukkan gunung, kemping, pertandingan olahraga, main kartu, minum-minum, pesta-pesta. 

Berbagai masalah sebagai sebab “loyonya” kehidupan akademis mahasiswa saat ini saya dapat menduga dari beberapa kemungkinan berikut ini, (1)  budaya ketergantungan intelektual yang tinggi, (2) inner-dynamic yang lemah, (3) belajar dengan moral minimalis, (4) kebiasaan melecehkan waktu, (5) minat baca masih rendah, (6) sosialisasi diri masih rendah, (6) minat menulis rendah, (7) minat diskusi rendah, (8) minat berinovasi masih rendah

Oleh karena itu tradisi-tradisi seperti berikut ini sudah saat dikembangkan oleh mahasiswa di PT. Pertama, kembalikan jati diri anda ke “habitusnya”, yakni sebagai musafir pencerahan intelektual, mengembangkan kejujuran intelektual, mengembangkan tradisi keilmuan. Kedua, membangun privat habit  untuk menumbuhkan  kehidupan akademis, yang pada gilirannya akan memberi sumbangan bagi public habit, mahasiswa sudah dibiasakan belajar dalam paradigma perspektif. Maksudnya ialah mahasiswa tak cukup belajar sebatas ilmunya atau bidangnya sendiri.

Mahasiswa dituntut oleh perubahan yang tak menentu untuk belajar berbagai hal lain sebagai tindakan antisipatif untuk menyongsong perubahan tadi. Hal inipun dilandasi oleh satu kenyataan bahwa selepas belajar di PT mahasiswa akan menghadapi satu masa transisi, bahkan masa krisis yang tak kalah sulitnya dengan belajar. Keterampilan di luar bidang ilmu sendiri, dapat menciptakan pekerjaan sementara, sebelum mencapai pekerjaan permanen.

Tugas mahasiswa (cendekiawan) saat ini memang makin tidak gampang. Dewasa ini kehadiran mahasiswa (cendekiawan) harus bersuara kuat seperti Socrates  dan memegang teguh etika dan kejujuran intelektual. Sebab negara kita dalam urutan ketiga besar di dunia kasus korupsinya (laporan Tranparecy International, triwulan pertama 2017), kita ini terlalu riuh oleh aneka kejahatan yang melembaga (KKN), dan didukung birokrasi dan oleh banyak orang. 

Bila mahasiswa tidak kuat dan jujur  ia akan beralih profesi, tidur bersama birokrat dan banyak orang dalam  pengabaian nilai-nilai luhur manusiawi. Kita harap kehadiran mahasiswa tampak semakin jelas dalam latar belakang negara yang semakin gelap, dalam maraknya KKN, merosotnya moralitas pemimpin kita. Untuk itu perlu ketangguhan moral dan pribadi sang mahasiswa (cendekiawan), karena jika tidak tidak demikian, peristiwa Socrates terjadi lagi “lalat liar” dipukul mati di NTT.

Dan seperti Socrates, pada saatnya cendekiawan mengambil sikap bahwa kehadiran fisiknya tidak penting lagi, yang penting kehadiran “gangguan” itu. Gangguan itu membuat penguasa tidak tenang dalam melanjutkan tidurnya. Saya yakin hal itu bukan sesuatu yang sia-sia. Karena sang cendekiawan bukan memasukan sesuatu yang asing, yang berasal dari luar, ke dalam diri sesama melainkan menyadarkan sesama apa yang terlekat dalam martabatnya sebagai manusia. Manusia pada hakikatnya baik. Ia mencintai apa yang baik, adil, indah….. Harap oleh hidup dan karya sang cendekiawan masyarakat menyadari bahwa ia tidak dapat hidup lebih lanjut kalau tidak mengubah cara hidupnya sekarang.  Semoga!!

Ben Senang Galus, penulis buku ”Postmodernisme dan Sketsa Hibriditas”, tinggal di Yogyakarta

Type and hit Enter to search

Close