UPDATE

Hasto Kristiyanto, Makna Kunjungan Mgr. Suharyo serta Politisasi Kasus dan Kriminalisasi Khusus

Foto: tajukharian.com_Pengamat Sosial Politik
Teo Hanpalam

Konstelasi politik nasional hari ini penuh dengan dinamika, belakangan ini isu politik terkait tudingan ijazah palsu Presiden Jokowi belum mereda. Terbaru Presiden Megawati juga memberikan komentar yang normatif terkait hal ini. Dalam pernyataannya beberapa waktu lalu, Mega meminta Jokowi untuk menunjukan ijazahnya kepada rakyat agar polemik ini tidak berkepanjangan, suara Mega ini juga menjadi atensi berbagai pihak yang juga mendesak Jokowi menunjukan ijazahnya kepada publik.

Namun Jokowi, seperti kita ketahui enggan melakukan itu, menurutnya Ia hanya akan menunjukan ijazahnya  untuk kepentigan penegakan hukum kalau diminta pengadilan. Perbedaan sudut pandang antara Jokowi dan sebagian masyarakat membawa polemik ini berlarut-larut hingga hari ini.

Kembali kepada Hasto, penahanan Hasto terkait kasus penyuapan kepada Anggota KPU RI Wahyu Setiawan untuk meloloskan Harun Masiku menjadi Anggota DPR RI menggantikan Riezky Aprilia pada Dapil 1 Sumatera Selatan pada pemilihan legislatif di tahun 2019.

Dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Hasto pada saat itu menyampaikan bahwa Harun Masiku harus dibantu untuk menjadi anggota DPR karena sudah menjadi keputusan partai. Riezky pun enggan menyetujui permintaan untuk mengundurkan diri.

Riezky Aprilia sendiri merupakan pemilik suara kedua dapil Sumsel 1, karena Nazarudin Kiemas pemilik suara pertama meninggal dunia.

Kursi warisan Nazarudin Kiemas ini yang menjadi pangkal masalah terjadi perebutan antara Harun Masiku dan Riezky Aprilia yang berbuntut pada kasus dugaan suap Komisioner KPU Wahyu Setiawan. PDIP merekomendasikan Harun sebagai PAW, sementara KPU menetapkan Riezky Aprilia sebagai anggota DPR karena dianggap berhak sebagai pemilik suara terbanyak kedua setelah Nazarudin Kiemas sebagaimana laporan dari Tempo. Adapun dalam perkara ini Hasto didakwa melakukan perintangan penyidikan (obstruction of justice) dan suap agar Harun Masiku bisa menjadi anggota DPR PAW 2019-2024.

Hasto Kristiyanto didakwa memberikan uang sejumlah 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 Wahyu Setiawan pada rentang waktu 2019-2020. Tulis Antara

Dari sini kita bisa melihat duduk persoalannya bahwa,  upaya Hasto tersebut berawal dari masalah internal dengan Kader PDIP sendiri. Bagi saya, ini sudah menjadi rahasia umum di di dalam internal partai politik di Indonesia. Seperti kita ketahui, politik di Indonesia identik dengan politik transaksional. Saya tidak mengamini cara tersebut, tetapi mari kita lihat secera objektif duduk persoalan perkara Hasto ini. Dinamika internal PDIP dan tudingan keterlibatan Hasto Kristiyanto, tentu kalau kita pahami Korupsi dalam konteks "extraordinary crime", kita dapat mengklasifikasi perbuatan Hasto tidak menyebabkan kerugian bagi negara. Bagi saya ini hanyala politik transaksional yang menjadi salah satu penyakit demokrasi di Indonesia sekarang ini.

Simbol Kunjungan Mgr. Ignatius Suharyo.

Senin 14 April 2025, Mgr. Ignatius Suharyo mengunjungi Hasto Kristiyanto di Rutan KPK. Kunjungan tersebut menurutnya merupakan sesuatu yang biasa dilakukan saat momentum perayaan Paskah bagi umat  Katolik, salah satu bentuknya yaitu mengunjungi orang yang dipenjara. Pertanyaannya, apakah kunjungan ini hanya kunjungan biasa dan rutinitas saja atau apa pesan simbolis dari kunjungan Mgr. Ignatius ke Hasto Kristiyanto dan tujuannya untuk apa dan kemana? Bagi saya ada pesan yang tersirat dalam kunjungan tersebut dan tentu ini bukan kunjungan biasa.

Kasus yang menjerat Hasto dinilai berbagai pihak adalah upaya kriminalisasi dan politisasi kasus. Inilah kemungkinan kenapa Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo menjenguk Hasto di tahanan dan kemudian santer menjadi pemberitaan yang mengundang perhatian publik. Mgr. Kardinal Ignatius Suharyo seperti kita ketahui merupakan Pria kelahiran Jogjakarta, seorang intelektual dan orang Jawa tentunya. Ia intelektual terdidik dan tentu ia tahu konsekuensi dari kunjungannya ke Hasto di penjara. Walaupun momentum tersebut memang pada hari Paskah, dimana bagi umat Kristiani, paskah memiliki simbol suatu pengorbanan Yesus Kristus untuk menyelamatkan manusia apalagi Hasto ini adalah seorang Katolik dan juga sama-sama orang Jogja.

Kunjungan terhadap Hasto ini yang kemudian diliput media tentu ini menjadi pertanyaan, sebab ada orang Katolik lainnya yang dipenjara karena dugaan korupsi yang merugikan negara dan rakyat seperti Jhony G. Plate, Juliari Batubara dan beberapa yang lain tidak pernah dipublikasikan.

Saya meyakini Mgr. Suharyo juga pernah berkunjung ke umat Katolik lainnya yang sedang dipenjara tetapi tidak disampaikan kepada publik. Mgr. Suharyo tentu sadar akan hal ini dan kunjungannya ke Hasto tentu memiliki pesan dan bahasa simbol tertentu.

Sebagaimana ada dugaan bahwa upaya pengusutan kasus Hasto hanyalah permainan kekuasaan untuk membungkam Hasto dan mereduksi PDI Perjuangan. Sebagaimana kita ketahui bahwa Hasto memang vokal dalam mengkritik Presiden Jokowi karena dianggap mengkhianati PDIP saat Ia mencalonkan anaknya Gibran Rakabuming Raka menjadi Calon Wakil Presiden dari Prabowo Subianto. Manuver Jokowi tersebut tentu bertentangan dengan keputusan Partai yang mengusung kader PDIP Ganjar Pranowo pada Pilpres 2024 lalu.

Kembali ke Mgr. Suharyo, mungkin kita posisikan beliau sebagai orang Jawa dulu. Dalam politik Jawa, kita sering saksikan bahwa setiap gerakan dan pesan tertentu biasanya disampaikan melalui bahasa simbol. Bagi saya, Mgr. Ignatius dalam kapasitas ini, dominan memposisikan dirinya sebagai orang Jawa, bukan sebagai Uskup Agung Jakarta.

Lantas apa pesan lain yang mau disampaikan secara simbolis ini? Bagi saya ini memberikan pesan kepada penguasa dan rakyat bahwa kasus yang menjerat Hasto harus dibaca secara kritis. Mgr. Suharyo tentu juga tidak mengamini tindakan korupsi dalam bentuk apapun.

Bagi saya, kunjungan Mgr. Suharyo ini memiliki pesan penting dan mendalam. Sebagaimana anggapan publik, banyak yang menduga bahwa kasus yang dihadapi Hasto Kristiyanto lebih dominan unsur politis daripada semangat penegakan hukum. Ia kerap kali dianggap sebagai gangguan bagi Presiden Jokowi, dan santer kabar seperti diakui Dedi Sitorus kader PDIP, Jokowi pernah melobi Sekjen Hasto agar dirinya dan Gibran tidak dipecat PDIP.

Politisasi Kasus dan Kriminalisasi Khusus

Kasus Hasto mencuat di masa akhir kepemimpinan Jokowi terutama saat setahun terakhir Jokowi masih berkuasa, kasus yang pada awalnya terfokus kepada Harun Masiku yang menjadi pintu masuk politisasi kasus menjadi posisi tawar Jokowi untuk menekan PDIP agar Sekjen Hasto tidak bersuara lantang terkait narasi "pengkhianat" partai maupun "pengkhianat" konstitusi.

Jokowi berharap Hasto dan PDIP bisa disandera dalam kasus ini. Namun pada kenyataan Hasto dan PDIP semakin kencang bersuara, dan narasi pengkhianat ini kemudian melekat pada Jokowi setidaknya sampai hari ini. Bagi Jokowi, ia tidak ingin namanya tercoreng, agar tidak tercoreng langkah yang dilakukan adalah melanjutkan proses Hasto dengan kasus dugaan suapnya. Sejauh ini, menurut surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Hasto didakwa terbukti memberi suap kepada mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan. Namun praktek semacam ini bagi berbagai kalangan merupakan hal umum yang dilakukan oleh politisi Indonesia hari ini, yaitu politik transaksional.

Saya tentu tidak mengamini, namun dalam kasus ini, tidak ada kerugian yang dialami oleh negara. Ini hal berbeda dengan kasus PT Timah, dalam kasus ini sejumlah terdakwa dinilai telah merugikan negara hingga 300 triliun, Korupsi minyak mentah Pertamina 193,7 triliun, BLBI 138,4 triliun, kasus korupsi penyalahgunaan izin lokasi dan izin usaha perkebunan di Kawasan Indragiri Hulu di awal 2000-an merugikan negara sekitar 78 triliun, Kasus kondensat ilegal terjadi saat Dirut PT TPPI Honggo Wendratno mengajukan program PSO (public service obligation) melalui surat ke BP Migas, kerugian negara mencapai 37,8 triliun, Asabri 22,78 triliun, dan banyak korupsi lain yang bertriliunan merugikan negara, belum lagi kasus yang lain, semua ini belum tuntas diselesaikan, dan hanya menjerat pemain-pemain kecil, sementara pemain besar berpesta pora. Inilah anomali kenapa berbagai kalangan kemudian menduga bahwa kasus 600 juta Hasto yang tidak merugikan negara ini diusut tuntas.

Di berbagai kesempatan, Hasto tentu merasa bahwa ada ketidakadilan dan unsur kriminalisasi terhadap dirinya. Bagi Hasto, Ia diburu bukan untuk tujuan pemberantasan korupsi, tetapi untuk membungkam dirinya dan PDIP.

Apa yang dianggap Hasto dan melihat rangkaian peristiwa serta proses politik yang terjadi Indonesia terutama menjelang Pilpres 2024 merupakan suatu fakta yang tidak dapat dinafikan. Modus operandi semacam ini bukan hanya terjadi di Indonesia, di berbagai negara di dunia juga terjadi. Di Amerika, misalnya terjadi kepada TRUMP, Ia didakwa melakukan 34 perbuatan melawan hukum, tentu publik Amerika membaca dengan cerdas dari manuver Joe Biden. Ia ingin mengkerdilkan Trump karena ia merupakan lawan politik Partai Demokrat di Pilpres AS 2024 lalu. Kriminalisasi yang dilakukan Biden terhadap Trump tidak berhasil, namun justru jagoan Biden, Kamala Harris yang kalah telak oleh Donald Trump. Kenapa saya contohkan Biden dan Trump, hal ini bukan soal kasusnya, tetapi ini soal niat atau motif di balik tameng "penegakan hukum" ini. Di Indonesia kasus yang dialami Hasto juga terjadi pada Thom Lembong, hanya perbedaannya Tom Lembong Didakwa Rugikan Negara Rp 578 Milyar dalam Kasus Impor Gula.

Bagi Thom Lembong pengusutan kasus ini ada ketidakadilan karena hanya menjerat dirinya, padahal menteri sebelum dan sesudah dia tidak diproses hukum sama sekali walaupun mereka menjalankan kebijakan yang sama yang yaitu Impor Gula.

Pertanyaannya, kenapa hanya Thom Lembong yang diburu? Ini dapat dibaca publik sebagai upaya kriminalisasi, apalagi Thom ini Timses Anies di pilpres 2024 lalu.

Dari contoh kasus diatas, publik Indonesia melihat bahwa klaim Hasto itu benar bahwa kasus yang menjeratnya merupakan operasi politik untuk membungkam lawan. Ini tentu sangat buruk bagi keberlanjutan demokrasi kita.

Saya mengamati fenomena politisasi kasus dan upaya kriminalisasi ini adalah ujian yang besar. Ini merupakan alarm berbahaya bagi demokrasi kita ini yang sedang mengalami ujian bertubi-tubi. Kita sendiri tidak memiliki kemauan mengerjakan ujian ini dan berharap hasilnya bisa lulus. Ini tentu sebuah halusinasi yang hakiki, kita akan bisa terus maju apabila dalam proses demokrasi dan instrumen demokrasi seperti penegak hukum tidak mau "dibegal" oleh penguasa. Pada kenyataannya hari ini demokrasi "dibajak" dan kadang kala hukum menjadi alat kekuasaan untuk menyingkirkan mereka yang berbeda pilihan. Ini harus menjadi refleksi bersama, apakah kita akan mau teruskan warisan balas jasa dan balas dendam politik ini? Ayo Revolusi diri.


Teodorikus Hanpalam

Catatan Pingiran

Jakarta, 3 Juni 2025

Iklan

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close