UPDATE

Paradigma Baru Penataan Sistem Pendidikan Tinggi

tajukharian.com- @/ ilustrasi

Tidak kita sadari, saat ini kita sudah berada pada abad 21. Suatu abad yang penuh dengan tantangan, mengingat sumber daya alam yang semakin menipis dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat yang jauh lebih berat dan kompleks sebagai akibat dari arus besar globalisasi yang terus menguat. Apabila dalam hukum alam dinyatakan bahwa energi yang lebih besar akan mengalir ke energi yang lebih kecil, ternyata dalam sistem global, yang kuat akan menghisap yang lemah, sehingga ketimpangan antarnegara maju dan negara berkembang akan semakin besar. Globalisasi juga telah menimbulkan ketidakadilan, karena negara berkembang masih sulit untuk mengimbangi kemampuan berkompetisi dan kemampuan mengikuti sistem pasar.

Globalisasi selain berpengaruh pada tatanan ekonomi, perkembangan iptek telah pula mengubah nilai sosial, budaya, dan lingkungan. Masyarakat yang tidak beradaptasi terhadap perubahan ini, dipastikan akan menjadi masyarakat yang tertinggal.

Globalisasi ekonomi dengan perdagangan bebas sebagai jargon utamanya semakin dipacu oleh perkembangan kemajuan iptek yang makin pesat. Sebagai konsekuensinya, persaingan antar umat manusia, antar kelompok dalam masyarakat, antar perguruan tinggi, antar bangsa menjadi semakin ketat. Dalam tatanan kehidupan masyarakat global, masyarakat akan semakin terdorong untuk memasuki kehidupan masyarakat mega kompetitif. Tidak ada tempat pada masyarakat di berbagai belahan dunia tanpa kompetisi. Kompetisi antar bangsa, antar perguruan tinggi telah semakin mengemuka dan menjadi prinsip hidup yang baru karena dunia semakin terbuka dan bersaing dalam intensitas yang semakin tinggi. Faktor terpenting agar bisa berkompetisi dalam persaingan itu adalah pendidikan.

Jean Jacques Servan Schreiber, dalam buku, The Japan Callenge (1980),  menulis begini:  ketika negara adikuasa AS  berlomba membuat senjata dan membangun militernya, maka Jepang sedikit pun tidak pernah menghiraukannya. Sebab Jepang menyadari kejatuhannya ketika perang dunia ke dua, disebabkan oleh superioritas militer  dan dengan demikian menurut Jean Jacques Servan Schreiber superioritas  di bidang militer dan persenjataan tak akan memberikan arti  bagi dunia dan kesejahteraan penduduknya. Maka negeri itu pun membiarkan negara adikuasa  untuk berlomba, sementara Jepang sendiri  berusaha mengarahkan segala sumber dayanya  untuk pengembangan kegiatan intelektual, penelitian ilmiah dan kreativitas di bidang ekonomi demi kesejahteraan penduduknya, melalui pendidikan.Hal ini memang sudah menjadi fakta sekarang ini, dimana Jepang  merupakan negara yang mempunyai pendapatan per kapita tertinggi di dunia dan sekaligus menjadi negara “adikuasa” dalam bidang perekonomian, dan negara itupun menjadi kreditor terbesar bagi negara-negara miskin, termasuk Indonesia. Jean Jacques Servan Schreiber menggambarkan,  Jepang sebagai negara yang akan memimpin dunia pada abad ini dan mendatang bersama-sama Jerman   – dua negara yang pernah kalah dalam perang dunia kedua.

Dalam buku yang dikutip tadi, Jean Jacques Servan Schreiber, menegaskan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi  akan menjadi “adikuasa”  pertama dan menjadi faktor determinan pada masa depan ketimbang militer.  Seperti halnya sekarang ini, tantangan yang paling besar yang dihadapi dunia adalah perang ekonomi, tapi pohonnya tetap pada satu hal, Everything depends on education.

Bagi sebuah negara berkembang, termasuk Indonesia, pendidikan harus ditempatkan pada skala prioritas dalam program pembangunannya maka secara otomatis uang akan mengalir dengan sendirinya.  .

Apa yang ditulis oleh Jean Jacques Servan Schreiber di atas,  sesungguhnya mau memperlihatkan kepada kita bahwa negara-negara yang berpengaruh maupun yang sudah mapan pada semua segi kehidupan pun,   pendidikan tetap menjadi pilihan prioritas dalam program pembangunan.  Pendidikan menjadi pilar utama dari sekian pilar lainya. Sudah menjadi adagium umum bahwa, sebuah negara disebut beradab dan maju pasti    pendidikan di negara tersebut sangat maju pula. Hal itu menjadi jelas betapa dinamika pendidikan  menjadi pangkal bagi proses kemajuan suatu bangsa, kendatipun negara-negara besar itu sudah menjadi makmur dan maju dan jauh  meninggalkan negara-negara berkembang, baik dalam kemakmuran ekonomi maupun  penguasaan bidang-bidang strategis lainnya 

Pendidikan tinggi (PT) saat ini  berhadapan dengan sebuah era yang disebut era turbulence-- suatu era yang penuh tantangan, perubahan. Sebuah PT dikatakan sebagai PT  kelas dunia (world class university/WCU) jika PT tersebut telah siap dan berhasil dalam kompetisi di arena global,  memiliki visi yang tidak hanya berkaitan dengan staf pengajar (dosen), peneliti, dan mahasiswa berwawasan global, tetapi juga berkaitan dengan institusi dan mitra global. Dengan demikian upaya keberhasilan untuk memanfaatkan sumber-sumber daya lokal, nasional maupun internasional akan memberikan kesempatan untuk menjadikan PT sebagai world class university (Ben Senang Galus, 2007).

PT sebagai sebuah lembaga akademik, harus mengemban cita-cita mencerdaskan dan mengembangkan kehidupan bangsa yang berbudaya luhur, bercita-cita menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni serta ilmu sosial dan kemanusiaan yang unggul dengan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu tinggi, melakukan penelitian dan pengembangan  untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa, serta kemaslahatan umat manusia.

Dalam mewujudkan cita-cita tersebut, PT harus senantiasa memegang teguh kebenaran dan keadilan, kejujuran  serta menegakkan asas-asas demokrasi, kebebasan dan keterbukaan, hak asasi manusia, pelestarian lingkungan hidup, serta etika kebenaran. 

Banyak usaha telah dirumuskan para ahli manajemen kualitas untuk mendefinisikan kualitas jasa atau pelayanan (service quality) agar  dapat didesain (designable), dikendalikan (controllable), dan dikelola (manageable), sebagaimana halnya dengan kualitas barang. Secara konseptual, manajemen kualitas dapat diterapkan baik pada barang maupun jasa, karena yang ditekankan dalam penerapan manajemen adalah peningkatan sistem kualitas (Hickman Craig, R. and Michael A. Silva, 1984)

Adalah sangat keliru apabila masih ada orang yang menganggap bahwa manajemen kualitas semata-mata ditujukan untuk produk industri, sehingga industri jasa, apalagi pendidikan tinggi belum menemukan format penerapan Total Quality Education  (TQE). Orientasi dari TQE bukan pada produk  (barang dan atau jasa) tetapi TQE berorientasi pada perbaikan manajemen system. Sebagai sebuah institusi pendidikan, maka manajemen PT --sebagai suatu manajemen sistem--, seyogianya terus menerus diperbaiki mengikuti konsep TQE. Dengan demikian yang perlu diperhatikan dalam pengembangan manajemen kualitas, adalah pengembangan sistem kualitas yang terdiri atas: perencanaan sistem kualitas, proses sistem kualitas, pengendalian sistem kualitas, peningkatan sistem kualitas dan evaluasi sistem kualitas, yang pada akhirnya menghasilkan lulusan yang  berkualitas (Vincent Gasper, 2005).

Setiap lulusan PT yang akan bekerja dalam sistem apa saja ( industri, bisnis, pemerintah dan pelayanan publik, dll), harus memiliki kemampuan solusi masalah-masalah sistem yang berkaitan dengan bidang ilmu yang dikuasainya berdasarkan informasi yang relevan, agar menghasilkan keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan untuk meningkatkan kinerja sistem itu.

Kemenade and Garre, dalam Ben Senang Galus (2007) mengidentifikasi delapan kategori yang dibutuhkan dari lulusan PT untuk memenuhi permintaan pasar tenaga kerja   yaitu: 1) berorientasi pada pelanggan, 2) memiliki pengetahuan praktis dan aplikasi alat-alat total quality management (TQM), 3) mampu membuat keputusan berdasarkan fakta, 4) memiliki pemahaman bahwa bekerja adalah suatu proses, 5) berorientasi pada kelompok (teamwork), 6) memiliki komitmen untuk peningkatan terus menerus, 7) pembelajaran aktif  (active learning), 8) memiliki perspektif sistem.

Mengikuti konsep berpikir manajemen sistem, maka manajemen PT seyogianya memandang bahwa proses pendidikan tinggi adalah suatu peningkatan terus menerus (continuous educational process improvement), yang dimulai dari sederet siklus sejak adanya ide-ide untuk menghasilkan lulusan (ouput) yang berkualitas, pengembangan kurikulum berbasis kompetensi global, proses pembelajaran yang interaktif, sampai kepada ikut bertanggungjawab untuk memuaskan pengguna lulusan itu.

Seterusnya berdasarkan informasi sebagai umpan balik yang dikumpulkan dari pengguna lulusan itu, dapat dikembangkan ide-ide kreatif untuk mendesain ulang kurikulum, memperbaiki proses pendidikan yang ada saat ini. Konsep pemikiran manajemen system, apabila dioperasionalkan, maka akan terdiri atas empat komponen utama, yaitu riset pasar tenaga kerja, desain proses PT berbasis kompetensi global, operasional proses PT yang interaktif, dan penyerahan lulusan yang kompetitif dan berkualitas ke pasar tenaga kerja.

Dalam hal ini manajemen PT memerlukan suatu interaksi tetap antara riset pasar tenaga kerja, desain proses pendidikan tinggi berbasis kompetensi global, operasional pendidikan tinggi yang interaktif, dan bertanggungjawab menghasilkan lulusan yang kompetitif dan berkualitas ke pasar tenaga kerja, agar PT mampu berkompetisi dalam persaingan global. 

Berkaitan dengan hal ini, jelas PT sudah saatnya melakukan reorientasi, bukan sekadar menghasilkan lulusan sebanyak-banyaknya tanpa peduli akan kepuasan pengguna lulusan itu, tetapi harus bertanggungjawab untuk menghasilkan output yang kompetitif dan berkualitas agar memuaskan kebutuhan pengguna tenaga kerja terampil berpendidikan tinggi. 

Konsekuensi dari pemikiran ini, maka penerapan TQE pada PT harus dijalankan atas dasar pengertian dan tanggung jawab bersama dari  semua civitas akademika. Melalui operasionalisasi manajemen sistem yang dijalankan secara konsisten, maka PT  akan mampu memenangkan persaingan global yang amat sangat kompetitif dan memperoleh manfaat (ekonomi maupun nonekonomis) yang dapat dipergunakan untuk pengembangan PT ke depan dan peningkatan kesejahteraan personel yang terlibat dalam PT.

Penerapan TQE dalam manajemen PT, menunjukkan bahwa perlu adanya sinergi antara PT dengan pemerintah, pelayan public,  bisnis, industry, profesi, alumni baik dalam negeri maupun luar negeri. Bagaimana kalangan PT bisa bersinergi dengan dunia luar seperti di atas, masih menjadi masalah utama dan tanda tanya besar bagi PT saat ini..

Pengamatan penulis menunjukkan bahwa  PT masih lemah sinerginya dengan dunia luar yang menjadi pasar tenaga kerjanya, sehingga diperlukan networking dengan dunia luar. Lemahnya sinergi ini berkaitan dengan lemahnya kualitas sistem kepemimpinan serta rendahnya kualitas tridarma PT saat ini.

Berkaitan dengan  pasar tenaga kerja dan universitas, Cobb et.al, dalam Ben Senang Galus (2007) telah mengembangkan petunjuk untuk kemitraan kualitas total  (total quality partnership) antara pasar tenaga kerja dan universitas berdasarkan bukti keberhasilan dari delapan universitas di AS yang bekerja sama dengan berbagai dunia bisnis dan industri, melalui pengkombinasian pengalaman dan pengetahuan teknikal dari karyawan industri yang nota bene merupakan alumni dari universitas itu dengan ide-ide cemerlang dan teknik-teknik penyelesaian masalah teoritikal yang dipelajari mahasiswa di ruang kelas perguruan tinggi.

Beberapa petunjuk yang perlu diperhatikan oleh pemberdayaan manajemen PT adalah; 1) memilih mitra kerja sama antara PT dan institusi yang mempekerjakan lulusan PT itu secara hati-hati., 2) memilih anggota kelompok yang terdiri atas kombinasi antara mahasiswa  dan karyawan dari institusi itu yang nota bene adalah alumni PT, untuk suatu proyek peningkatan kualitas  dari organisasi PT dengan melibatkan dosen-dosen sebagai fasilitator, 3) memberikan pelatihan TQE dan fasilitas yang diperlukan, 4) memberikan kepemimpinan positif dalam solusi masalah ( problem solving team) sebagai bentuk tanggung jawab bersama dari manajer-manajer perusahaan-perusahaan dan pimpinan pemda atau lainnya dengan dosen-dosen , 5) mendukung melalui penyiapan sumber-sumber daya yang dibutuhkan, dan 6) meninjau ulang secara teratur setiap kemajuan yang diperoleh melalui proyek kerja sama peningkatan kualitas PT itu (Vincet Gasper, 2005).

Dalam kasus yang lain, Megavero and  Lake,  ( 2000) mengemukakan suatu studi kasus tentang  peningkatan proses  pendidikan pada Pensylvania University, AS, dimana dalam hal ini pihak universitas membentuk tim-tim kelompok studi kualitas ( quality studi groups teams)  yang terdiri atas delapan sampai sepuluh orang yang ingin berpartisipasi, belajar, dan membagi pengetahuan tantang peningkatan kualitas PT.

Fasilitator dipilih dari anggota tim, dimana individu ini bertanggungjawab untuk pembagian pembuatan keputusan, menjaga agar pertemuan-pertemuan tim sesuai arah dan tujuan. Dari kelompok-kelompok studi kualitas itu, terdapat tim pengarah, yang biasanya terdiri atas dua orang yang bertanggungjawab pada proses dan memiliki wewenang untuk melalukan perubahan-perubahan dalam proses pendidikan universitas. Terdapat pula penasihat kualitas, yang merupakan koordinator untuk peningkatan kualitas terus menerus dari universitas itu dapat menggunakan model yang telah dikembangkan dan diterapkan oleh universitas-universitas  terkemuka sebagai strategi untuk benchmarking ( meniru dan memperbaiki).

Berkaitan dengan hal di atas , maka sebagai salah satu wujud kebijakan berkaitan dan kesepadanan PT perlu mengubah orientasi dengan lebih memperhatikan kebutuhan pasar kerja (market driven). PT  sebagai penghasil lulusan S1 dan S2 ataupun S3 harus terkait dengan kebutuhan  tenaga kerja lokal, nasional, dan internasional secara menyeluruh, sehingga diharapkan berkurangnya  angka pengangguran intelektual lulusan PT. 

PT harus  mampu menampung kebutuhan khusus  pengguna lulusan. Oleh karena itu PT harus berorientasi pada pemecahan masalah ( ilmiah, teknologi, sosio-kultural). Dalam hal ini setiap lulusan PT harus memiliki sikap-sikap profesional, mandiri, kreatif, proaktif, dan wirausaha. 

Untuk mewujudkan itu PT harus bangkit, berinovasi dalam merespons terhadap perubahan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini, agar tidak semakin tertinggal  jauh dan punah  akibat ditinggal para pemangku kepentingan.  Inovasi  dan pengembangan PT  harus menjadi bagian dari proses menyeluruh dan terintegrasi  dalam seluruh rangkaian kegiatan  akademik sehingga capaian-capaian yang diperoleh  terukur dan  dan berdampak  pada pemeringkatan tingkat dunia. 

Hal ini hanya mungkin tercapai apabila dosen-dosen dan karyawan PT juga memiliki kualifikasi profesional yang dibutuhkan. Dalam hal pelatihan tentang TQE merupakan hal mutlak dimulai dari pemimpin manajemen PT sampai kepada dosen-dosen dan karyawan.. Dengan demikian setiap civitas  akademika terutama dosen, karyawan dan lulusan akan menjadi seorang problem solver yang berhasil ( bukan problem maker yang pecundang) serta memiliki sepuluh karakteristik kualitas berikut: 1) kreatif, 2) pemimpin, 3) analitikal, 4) terstruktur, 5) sistematik, 6) intuitif, 7) kritis, 8) informatif, 9) synthesizer, dan 10) berorientasi tim.


Oleh Ben Senang Galus

Dosen, Penulis Buku/Esais, tinggal di Yogyakarta

Iklan

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close