![]() |
Foto; ilustrasi-@/google |
Ketidakadilan ini muncul karena budaya masyarakat Indonesia yang terlalu lapang dada jika dianiaya dan percaya bahwa Tuhan akan membalas yang jahat. Tapi sampai kapan? Sampai kapan kita diinjak-injak oleh oknum-oknum yang jumlahnya sangat banyak. Jika pemerasan sudah dinormalisasi, jika mentalitas mengayomi dan melindungi yang lemah sudah tidak ada, apa yang harus kita lakukan? Melawan? Berdiam diri? “Libertarianisme” namanya. Mungkin kata itu asing di telinga kalian. Bahkan software Microsoft Word pun melabeli kata tersebut dengan garis bawah merah yang artinya tidak ada di KBBI. Mungkin kalian tidak asing dengan “saudara” dari
Libertarianisme yaitu Liberalisme. Tapi apa bedanya?
Libertarianisme menekankan kebebasan individu yang hampir absolut dan pembatasan kekuasaan negara secara radikal. Penganut ideologi ini percaya bahwa negara seharusnya memiliki peran minimal dalam kehidupan masyarakat hanya untuk melindungi kebebasan, keamanan, dan hak kepemilikan individu. Regulasi pemerintah dipandang sebagai gangguan terhadap kebebasan, dan hampir semua layanan sebaiknya diprivatisasi.
Libertarianisme memiliki akar konservatif yang berdasarkan pada pemikiran para Founding Fathers Amerika Serikat yang menggabungkan komitmen terhadap kebebasan individual dengan fondasi moral tradisional. Thomas Jefferson, James Madison, dan George Washington memperjuangkan pembatasan kekuasaan pemerintah bukan sebagai tujuan akhir, tetapi sebagai sarana untuk melindungi kehidupan bermoral yang didasarkan pada nilai-nilai Judeo-Kristen dan kebajikan klasik.
Para Founding Fathers memahami bahwa kebebasan tanpa moralitas akan berujung pada kehancuran masyarakat. Mereka menekankan pentingnya nilai-nilai keluarga, tanggung jawab pribadi, dan komunitas yang kuat berdasarkan kesukarelaan.
John Adams dengan tegas menyatakan bahwa konstitusi Amerika "dibuat hanya untuk rakyat yang bermoral dan beragama" dan "sama sekali tidak cocok untuk pemerintahan lainnya. (yang kala itu kebanyakan kerajaan, imperialisme, ataupun Elective Oligarchy seperti: Republik Venesia, Republik Belanda, Persemakmuran Polandia-Lithuania, dll.)"
Kebebasan ekonomi dan pembatasan pemerintah dipandang sebagai cara untuk memberdayakan individu dan komunitas dalam mengejar kehidupan yang baik dan berbudi luhur. Berbeda dengan Libertarianisme konservatif, liberalisme progresif modern telah memutuskan hubungan dengan akar-akar moralnya. Dimulai dengan gerakan Progresif awal abad ke-20 dan berlanjut hingga "Great Society" pada tahun 1960-an, liberalisme progresif membayangkan negara sebagai instrumen utama untuk "kemajuan" sosial dan moral. Pandangan ini melihat tradisi, agama, dan norma-norma sosial sebagai hambatan yang harus dilampaui, bukan sebagai sumber kebijaksanaan yang harus dihormati.
Liberalisme progresif memprioritaskan kebebasan ekspresif namun sering kali mengorbankan kebebasan ekonomi. Kaum liberal progresif mengadvokasi ekspansi pemerintah yang masif ke dalam ekonomi dan kehidupan sosial, menciptakan ketergantungan masyarakat pada negara, bukan pada keluarga dan komunitas. Akibatnya, fondasi moral masyarakat terkikis sementara kekuasaan negara terus membengkak, mengancam kebebasan yang seharusnya dilindungi.
Inilah kenapa saya memilih Libertarianisme Konservatif untuk diimplementasikan di hati masyarakat Indonesia, karena sesuai dengan nilai-nilai tradisional yang tetap dipertahankan. Lalu apa hubungannya dengan oknum polisi? Dengan menghargai diri kita sendiri sebagai individu, pastilah kita tidak akan pasrah saat tertindas malah saling mendukung dalam komunitas bila sama-sama tertindas, seperti masyarakat Amerika serikat saat penjajahan Inggris.
Libertarianisme konservatif memang menawarkan kerangka yang menarik untuk konteks Indonesia. Dalam perspektif ini, penyalahgunaan wewenang oleh oknum polisi merupakan contoh klasik dari bahaya kekuasaan negara yang berlebihan tanpa akuntabilitas yang memadai. Filosofi ini mengingatkan kita bahwa kewenangan aparat harus dibatasi dan diawasi ketat untuk mencegah pelanggaran terhadap hak-hak individu. Contoh konkret di masyarakat modern adalah tragedi Waco, Texas, di mana pada tahun 1993, agen-agen federal AS mengepung kompleks Branch Davidian selama 51 hari dan berakhir dengan kebakaran yang menewaskan 76 orang, termasuk 25 anak-anak.
Bagi banyak libertarian, ini menjadi simbol penyalahgunaan kekuasaan negara yang ekstrem terhadap komunitas yang memilih hidup dengan keyakinan berbeda sekaligus perlawanan oleh masyarakat libertarian yang direpresentasikan Dravidian Branch. Kasus Marvin Heemeyer atau yang dikenal sebagai "Killdozer" juga menjadi ikon perlawanan libertarian. Pada 2004, setelah perselisihan panjang dengan pemerintah kota Granby, Colorado terkait zonasi yang merugikan bisnisnya, Heemeyer memodifikasi buldozer dengan pelat baja dan menghancurkan 13 bangunan kota, termasuk balai kota.
Meski kontroversial, banyak yang memandangnya sebagai protes terhadap ketidakadilan birokrasi yang mengabaikan hak properti individu. Selain itu, "Roof Koreans" merujuk pada para imigran Korea yang melindungi bisnis mereka selama kerusuhan Los Angeles 1992. Ketika polisi menarik diri dari kawasan tersebut, pemilik toko Korea-Amerika ini naik ke atap bangunan mereka dengan senjata untuk melindungi properti mereka dari penjarahan. Ini menunjukkan bagaimana komunitas dapat mengorganisir perlindungan diri saat pemerintah gagal memberikan keamanan dasar.
Perlawanan buruh terhadap Pinkerton pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menunjukkan konflik antara hak pekerja dan kekuatan korporasi yang didukung negara. Detektif Pinkerton sering disewa oleh perusahaan untuk memecah serikat pekerja, yang terkadang mengakibatkan kekerasan seperti dalam Homestead Strike 1892. Perjuangan ini menjadi contoh bagaimana komunitas pekerja dapat bersatu melawan koalisi kepentingan bisnis dan kekuasaan negara yang menindas. Semua contoh ini, meskipun berasal dari konteks yang berbeda, menunjukkan tema umum dalam pemikiran libertarian konservatif: pentingnya individu dan komunitas yang siap mempertahankan hak-hak mereka ketika dihadapkan dengan penyalahgunaan kekuasaan, sambil tetap berpegang pada nilai-nilai tradisional dan tanggung jawab sosial.
Jika kita sebagai manusia modern masih percaya dengan "aku cuma orang kecil tidak bisa apa-apa" ubahlah mindset itu dengan membangun komunitas yang kuat dengan nilai-nilai sosial tinggi tanpa merusak kebebasan individu. Kita sudah lelah diinjak-injak!
Mari kita berteriak "Merdeka!" dengan menghayati bahwa kamu juga merdeka sebagai individu! "When tyranny becomes law, rebellion becomes duty." (Ketika tirani menjadi hukum, pemberontakan menjadi kewajiban.) - Thomas Jefferson
Gabriel Defa Samudra Asa
Social Footer